Demi Budaya, Pemkab Karanganyar dan DIJ Gagas Kerja Sama Sister City

Replika tugu sebagai penopang menjaga budaya yang masuk cagar budaya di Karanganyar. | Suroto (/Fokusjateng.com)

Replika tugu sebagai penopang menjaga budaya yang masuk cagar budaya di Karanganyar. | Suroto

FOKUS JATENG – KARANGANYAR – Perjanjian Giyanti dan Jantiharjo menjadi landasan kerja sama sister city antara Pemkab Karanganyar dan Daerah Istimewa Jogjakarta (DIJ). Namun kerja sama tersebut tidak akan berjalan mudah lantaran terganjal proses adminitrasi dan prosedur lain.



Rencana kerja sama itu muncul saat Sarasehan Travel Heritage 2017 dengan tema Bersama Membangun Pelestarian Warisan Budaya dan Cagar Budaya di Hotel Taman Sari Karanganyar, Rabu 19 Juli 2017. Kegiatan diselenggarakan BPWBCB Dinas Kebudayaan DIJ.

Kabupaten Karanganyar memiliki situs di Jantiharjo, Karanganyar. Situs itu berkaitan dengan sejarah Perjanjian Giyanti. Selain itu, makam Ki Ageng Derpayuda di Majanjanti, Kauman, Desa Kwadungan, Kerjo berkaitan dengan silsilah raja di Keraton Yogyakarta. Ki Ageng Derpayuda merupakan ayah dari permaisuri Hamengku Buwono I.

Kepala Dinas Pariwisata Pemuda dan Olahraga Karanganyar Titis Sri Jawoto, menyampaikan harapan terjadi perjanjian kerjasama antara Pemkab Karanganyar dengan DIJ. ”Perjanjian Giyanti dari kacamata wisata itu menjadi prospek. Akhir tahun ini, kami melakukan studi kelayakan menggandeng salah satu universitas di Solo. Gayung bersambut, DIJ sedang mengkaji hal yang sama. Harapan besar bisa terjalin sister city. Ini potensi baru,” kata Titis saat ditemui wartawan seusai sarasehan.

Kepala Bidang (Kabid) Pelestarian Warisan dan Nilai Budaya Dinas Kebudayaan DIJ Dian Lakshmi Pratiwi, menyampaikan kerja sama dan pembiayaan memungkinkan, asalkan memiliki keistimewaan tanah, tata ruang, kebudayaan, kelembagaan, dan penetapan gubernur dan wagub. Tetapi, dia enggan gegabah menanggapi tawaran kerjasama. Dian menyampaikan proses menuju sister city membutuhkan kajian mendalam.

”Saat ini dalam rangka kajian dan telaah untuk menjajaki regulasi yang memungkinkan. Salah satu syarat adalah dasar hukum. Misalnya apakah [situs Perjanjian Giyanti] sudah ditetapkan sebagai cagar budaya. MoU tidak sulit, tetapi penguatan regulasi,” jelas Dian menanggapi pernyataan Titis.

Sementara itu, Pakar Sejarah, Yuwono Sri Suwito, fokus membahas makna dan nilai penting Perjanjian Giyanti untuk pelestarian cagar budaya di Kabupaten Karanganyar. Menurut dia, modal utama pariwisata bukan hanya objek. Tetapi, sumber daya manusia dan manajemen mempengaruhi pelestarian cagar budaya. Dia memberi contoh Makam Ki Ageng Derpayuda di Kerjo.

Kondisi makam terawat, tetapi lingkungan sekitar makam dan pengetahuan juru pelihara makam harus lebih ditingkatkan. Dia optimistis makam itu mampu menarik minat wisatawan khusus. “Tergantung manusianya. Alangkah baiknya, juru pelihara di situs manapun mampu memberikan informasi tambahan tentang sejarah. Informasi yang lengkap, akurat, dan tidak menipu. Jadi wisata minat khusus,” ungkap dia.

Yuwono juga mengingatkan Pemkab karanganyar  agar proaktif mendata dan memelihara benda cagar budaya. “Tidak perlu menunggu ada tim ahli cagar budaya. Semua cagar budaya harus diusulkan. Minta tolong BPCB Jateng. Potensi wisata di Karanganyar itu luar biasa. Ada ziarah, sejarah, budaya, dan minat khusus” katanya.