FOKUS JATENG-BOYOLALI-Tujuh dalang bakal unjuk gigi di pentas wayang kulit yang akan digelar di Taman Safari Indro Kilo, Mojosongo, Boyolali, awal Oktober mendatang. Para dalang kondang asal Kota Susu ini akan tampil berturut-turut sejak Senin 2 Oktober 2017 hingga Minggu 8 Oktober 2017.
Mereka yang akan tampil hari pertama yakni Ki Haji Warjito Kliwir asal Kecamatan Ngemplak akan menampilkan lakon Kresno Dutho. Kemudian di hari kedua Ki Jangkung Darmoyo asal Kecamatan Sawit dengan lakon Bismo Gugur. Lantas hari ketiga ditampilkan Ki Suratno asal Kecamatan Ngemplak dengan lakon Ranjapan (Abimanyu Gugur).
Hari keempat Ki Joko Sartono asal Kecamatan Musuk dengan lakon yang akan dibawakan Suluhan (Gatotkaca Gugur). Kemudian hari kelima Ki Raharjo (Purbo Carito) asal Kecamatan Sambi dengan lakon Durno Gugur. Hari keenam ditampilkan Ki Suryanto asal Kecamatan Karanggede dengan lakon Jambaan (Karno Tanding).
Hari terakhir ditampilkan Ki Haji Joko Sunarno asal Kecamatan Karanggede dengan lakon Duryudono Gugur (Rebahan). Saat tampil nanti mereka membawa perangkat gamelan dan sinden sendiri-sendiri.
Kegiatan ini digelar untuk memperkenalkan Taman Safari Indro Kilo. Sedangkan lakon besarnya adalah ”Baratayudha”. ”Dipentaskan tujuh malam berturut-turut,” jelas Yosep Kustono, panitia penyelenggara dari Ireng Putih Production, Sabtu 16 September 2017.
Dikatakan, tujuan digelarnya wayang kulit ini untuk memperkenalkan Taman Safari Indro Kilo ke masyarakat luas. Kegiatan ini sudah yang kali kedua. Gelaran tahun lalu di Simpang Siaga Boyolali Kota dengan lakon yang sama. ”Ini jadwal rutin kegiatan tahunan,” kata pengurus Ketoleng Institute Boyolali, ini.
Selain mengenalkan taman safari, kegiatan ini juga untuk memetri bulan Suro. Sebab pada pelaksanaan nanti bertepatan di bulan Suro. ”Tujuh dalang yang akan tampil ini sudah banyak memberikan kontribusi kegiatan seni dan budaya. Jadi merupakan tokoh-tokoh dari Boyolali,” tandasnya.
Tujuan lain yakni juga mengangkat lagi kesenian tradisional. Di mana kesenian rakyat itu sangat kompleks. Yakni ada seni tutur, seni pertunjukan, seni rupa, seni lukis, dan seni musik. ”Jadi lebih kompleks lagi kalau bicara kesenian wayang,” kata Yosep.
Lebih mendasar lagi, lanjut dia, membangun nilai-nilai kearifan lokal. Termasuk gambaran saat menggelar cerita mahabarata. ”Di sana terjadi perang saudara. Kalau disinkronkan saat ini lebih bisa menjadi tontonan sekaligus tuntunan kepada kita menjadi contoh yang baik ke depannya,” ujarnya.
Ditambahkan, sebetulnya setiap saat mengangkat Baratayudha mengingatkan kembali kepada masyarakat. Yakni peristiwa itu menjadi suritauladan. ”Kita tidak meniru perang saudara itu. Tapi jangan sampai terjadi seperti yang ada di cerita ini,” kata Yosep.