FOKUS JATENG – BOYOLALI – Menyambut datangnya bulan Sura (kalender Jawa), ribuan warga kawasan lereng Gunung Merapi menggelar tradisi larung kepala kerbau, Rabu (20/9/2017) malam.
Upacara tradisional sedekah gunung ini merupakan peninggalan nenek moyang yang turun temurun berkembang sampai sekarang.
Prosesi upacara tradisional labuhan kepala kerbau tersebut diawali dengan menyediakan satu kepala kerbau yang dibalut dengan kain mori, dan sesaji tumpeng gunung dari nasi jagung.
Kepala kerbau yang sudah siap kemudian diarak keliling kampung oleh puluhan warga dengan menggunakan pakaian adat Jawa menuju Joglo Merapi.
Rombongan warga membawa kepala kerbau dan sesajinya dengan cara ditandu. tersebut nampak barisan obor yang diikuti puluhan orang di belakangnya menuju tempat upacara.
“Kepala kerbau sebagai sesaji setelah dilakukan doa bersama kemudian dibawa dengan cara dipikul oleh sejumlah warga menuju ke puncak Merapi saat tepat tengah malam,” ujar Paiman.
Sejumlah warga turut menyaksikan ritual ini, termasuk warga dari luar daerah.
“Sudah sejak sore, saya datang di lokasi acara bersama anak dan menantu. Kebetulan menantu saya asal Palembang dan baru sekali ini melihat acara larung kepala kerbau,” ujar Wiryo (56) warga Kecamatan Cepogo.
Menurut Wakil Bupati Boyolali M Said Hidayat, tradisi tersebut merupakan kearifan warga sekitar Merapi yang tetap dilestarikan hingga sekarang. Tradisi kearifkan lokal lereng Merapi dulu ada sejarahnya pada zamannya pemerintahan Sinuhun Paku Buwono (PB VI), Raja Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Warga di lereng Merapi ini dulunya dilanda wabah penyakit yang banyak menelan korban jiwa, kemudian dilakukan ritual oleh para tokoh masyarakat mencari petunjuk agar dijauhkan dari malapetaka.
Larung kepala kerbau tak lepas dari cerita Kyai Petruk, atau Raden Handoko Kusuma yang dipercaya sebagai pengayom warga kawasan lereng Merapi.
“Istilah Petruk, menurut warga setempat, karena Handoko Kusuma mempunyai tubuh tinggi dan hidung yang panjang,” kata Paiman tokoh masyarakat setempat.
Paiman menuturkan, Kyai Petruk adalah putra Pengageng Kapaniwon Cepogo. Pada masa mudanya dia senang lelaku dan bersemedi, suka menolong orang, jujur bahkan sakti. Maka oleh masyarakat Selo dan sekitarnya, dia dianggap menjadi seorang pengayom, hingga meninggalnya muksa di lereng Merapi.
“Maka dipercaya disetiap malam 1 Sura, digelar sedekah gunung,” katanya.
Tidak hanya kepala kerbau, tapi ada perlengkapan lain, seperti tumpeng sesaji dari nasi jagung, brubus dibuat dari batang lumbu, bothok sempura. Juga palawija komplit diantaranya singkong bakar, ketela bakar, minuman kopi dan rokok klobot.
Semua itu merupakan sarana persembahan untuk memohon kepada yang Maha Kuasa agar masyarakat diberi keselamatan hidup dan mendapat limpahan kesejahteraan.
Nah, ini dia foto-fotonya:

Rombongan warga pembawa kepala kerbau dan sesaji dengan cara dipikul tersebut diawali dengan barisan obor menuju puncak Merapi, Rabu (20/9/2017). (credit-Yulianto/Fokusjateng.com)

Penyerahan Kepala Kerbau kepada Wakil Bupati Boyolali. (credit-Yulianto/Fokusjateng.com)

Rombongan warga pembawa kepala kerbau dan sesaji dengan cara dipikul tersebut diawali dengan barisan obor menuju puncak Merapi, Rabu (20/9/2017). (credit-Yulianto/Fokusjateng.com)