FOKUSJATENG – KARANGASEM – Semenjak statusnya dinaikkan menjadi Awas, jumlah pengungsi Gunung Agung, Karangasem, Bali terus meningkat. Kabar terakhir menyebutkan, jumlah pengungsi hingga Kamis sore (28/9/2017) tercatat mencapai 134.229 jiwa di 484 titik pengungsian yang tersebar di 9 kabupaten/kota di Bali.
Adapun pengungsi sebanyak 134.229 jiwa tersebut berada di Kabupaten Badung 15 titik (5.879 jiwa), Kabupaten Bangli 30 titik (6.158 jiwa), Kabupaten Buleleng 26 titik (16.901 jiwa), Kota Denpasar 51 titik (11.036 jiwa), Kabupaten Gianyar 16 titik (12.084 jiwa), Kabupaten Jembrana 29 titik (420 jiwa), Kabupaten Karangasem 122 titik (49.575 jiwa), Kabupaten Klungkung 173 titik (27.395 jiwa), dan. Kabupaten Tabanan 26 titik (4.851 jiwa).
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, untuk memenuhi kebutuhan pengungsi yang terus bertambah, ketersediaan logistik mencukupi hingga satu bulan ke depan. Bantuan terus berdatangan, baik bantuan dari pemerintah, pemda, dunia usaha dan masyarakat.
Distribusi bantuan ke pengungsi lanjut Sutopo juga berjalan dengan lancar. Jika ada beberapa titik pengungsian belum menerima bantuan disebabkan pos pengungsi mandiri tersebut tidak melaporkan ke petugas. Pendataan terus dilakukan agar penyaluran bantuan dapat melayani semuanya.
Bantuan masyarakat dan semua elemen di Bali luar biasa. Semua bergerak. Karakter masyarakat Bali yang suka gotong royong, saling menghargai, senang membantu dan rukun menyebabkan penanganan pengungsi berlangsung dengan lancar. Antara masyarakat dan aparat pemerintah kompak menyebabkan pengungsi terlayani dengan baik. Ini adalah modal sosial yang besar yang membentuk masyarakat Bali tangguh menghadapi bencana.
“Memang, sejak dulu masyarakat Bali memiliki kearifan lokal menyama braya. Menyama Braya adalah konsep ideal hidup bermasyarakat di Bali sebagai filosofi dari karma margayang bersumber dari sistem nilai budaya dan adat istiadat masyarakat Bali untuk dapat hidup rukun,” terang Sutopo sebagaimana dilansir laman resmi BNPB.
“Kerukunan mengandung makna akrab, damai dan tidak berseteru, diibaratkan pada kehidupan sepasang suami istri dalam rumah tangga yang harmonis dan damai dalam menghormati kearifan lokal sebagai landasan strategis mewujudkan makna menyama braya sebagai penguatan jati diri bangsa. Manusia itu tidak hidup sendiri di dunia ini, tetapi dilindungi oleh komunitasnya, masyarakatnya, dan alam semesta sekitarnya. Manusia pada hakikatnya tergantung dalam segala aspek kehidupannya kepada sesama umat manusia, karena itu ia selalu berusaha untuk sedapat mungkin memelihara hubungan baik, terdorong oleh jiwa sama rata sama rasa; dan selalu berusaha untuk sedapat mungkin bekerjasama dalam komunitas. Itulah yang tercermin di Bali meski Gunung Agung status Awas,” terang Sutopo lagi.
Korban Hoax
Lebih lanjut Sutopo manambahkan, banyaknya jumlah pengungsi ini disebabkan masyarakat yang tinggal di luar radius berbahaya pun ikut mengungsi. Sesungguhnya mereka tinggal di tempat yang aman. Namun karena sulitnya memahami dan mengetahui batas radius berbahaya di lapangan menyebabkan masyarakat ikut mengungsi.
Batas radius berbahaya yang ada di peta, tidak tampak di lapangan. Masyarakat sulit mengetahui posisi sebenarnya. Apalagi kenaikan status Awas ditetapkan malam hari, saat terjadi gempa yang beruntun dan ditambah beredarnya banyak informasi palsu (hoax) sehingga masyarakat yang tinggal di daerah aman pun ikut mengungsi. Ini adalah hal yang manusiawi dan sering ditemukan di tempat lain.
Aktivitas vulkanik Gunung Agung masih tinggi. Tingginya gempa vulkanik menunjukkan masih berlangsungnya dorongan magma ke permukaan. Pengamatan visual tanda-tanda erupsi belum tampak. Tidak dapat diprediksi pasti kapan Gunung Agung akan meletus. Status tetap Awas (Level 4).