Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan, Karding: Fatayat Harus Adaptasi Tantangan Generasi Milenial

Anggota MPR RI Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Abdul Kadir Karding dalam Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan dengan tema Menjadi Perempuan Cerdas di Tahun Politik yang di gelar oleh PW Fatayat NU Jawa Tengah, Sabtu 4 November 2017. (Dok. PW Fatayat Jateng/Fokusjateng.com)

FOKUS JATENG – SEMARANG – Anggota MPR RI Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) Abdul Kadir Karding meminta kaum perempuan muda Nahdlatul Ulama (NU) yang tergabung dalam organisasi Fatayat agar mandiri di segala bidang, termasuk politik. Instrumen politik menurut Karding menjadi penting, karena hal yang dasar tentang negara ada di dalam politik.

Namun sayangnya, penerapan ideologi NU sebagai organisasi kemasyarakatan paling besar di Indonesia, selama ini hanya fokus di tingkat kultural, tetapi lemah di tungkat struktural. Hal itu dikatakan Karding, dalam Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan dengan tema Menjadi Perempuan Cerdas di Tahun Politik yang di gelar oleh PW Fatayat NU Jawa Tengah di Hotel Siliwangi Semarang, Sabtu 4 November 2017.

”Saya mencoba menganalisis peran-peran kesejarahan NU, kesimpulannya NU besar tetapi hanya dimanfaatkan,” kata Karding, seperti dikutip dari siaran pers Humas PW Fatayat NU Jawa Tengah, Minggu 5 November 2017.

Karding menyebutkan survei terbaru sebuah lembaga survei menunjukan bahwa 50 persen lebih penduduk Indonesia mengaku sebagai warga NU, baik dari kategori struktural maupun kultural. Akan tetapi fakta politiknya, NU lebih kecil dari Muhammadiyah merujuk pada perolehan kursi di DPR RI yang direpresentasikan oleh PAN. ”Nah ini harus jadi muhasabah, otokritik kita, kenapa yang 50 persen lebih ini tidak berdaya di tengah kebesaran jumlahnya,” imbuhnya.

Menurut Executive Comitee Young Liberal Democratic Asia ini, ada beberapa hal yang menyebabkan peran NU kancah perpolitikan yang relatif kecil ditengah jumlah anggotanya yang besar. Antara lain, NU kurang solid dan kedua, NU belum mandiri. ”Santri hebat, santri mandiri masih sekedar slogan. Kalau mau jujur belum,” tandasnya.

Menurut Karding, politik itu kuncinya harus diperhitungkan. Banyak orang NU di daerah potensial, tetapi tidak bisa menjadi pemimpin daerah. Jika ada kader Fatayat yang hendak terjun ke dunia politik, maka harus dipikirkan dan diperhitungkan dari sekarang.

Selain itu tidak lupa dengan tujuan utama terjun ke politik adalah untuk memperjuangkan cita-cita NU dan Fatayat. Sebab banyak politisi yang berangkat dari NU, namun kemudian lupa terhadap NU setelah duduk di kekuasaan. ”Jangan kemudian amnesia dari NU,” imbuhnya.

Menghadapi tahun politik, ia meminta Fatayat NU jangan hanya jadi penggembira atau menjadi pemandu sorak. Akan tetapi harus solid agar mampu menjadikan kader terbaiknya di lembaga eksekutif dan legislatif.

Agar Fatayat NU menjadi kuat dan solid serta diperhitungkan, menurut Karding harus ada kaderisasi yang sistematis didukung oleh tim, sistem dan anggaran.

Selain itu Kader dan struktur Fatayat harus bisa beradaptasi dengan tantangan generasi milenial. Dimulai dengan menguasai Informasi Teknologi (IT), berjejaring hingga menguasai opini publik. Disamping tidak melupakan tugas utamanya dalam mendidik anak-anak menjadi generasi yang salih.

“Kader harus canggih medsosnya, punyalah media center sampai tingkat ranting. Jadilah fatayat zaman now, kerjakan hal-hal kecil, tapi dampaknya besar,” tuntasnya.

Sementara itu Ketua PW Fatayat NU Jawa Tengah Tazkiyyatul Muthmainnah dalam sambutannya mengatakan, kegiatan ini sengaja memilih tema Perempuan Cerdas di Tahun Politik, karena tahun 2018 adalah tahun politik. Yakni adaya Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Tengah serta pemanasan menuju Pemilu Serentak 2019.

“Kita sebagai organisasi perempuan dengan kader yang sangat beragam, sangat potensial untuk dimanfaatkan, di tunggangi untuk kepentingan politik praktis. Jangan sampai Fatayat mengalami hal tersebut,” kata Iin, panggilan akrab  Tazkiyyatul Muthmainnah.

Dalam kegiatan ini selain mendapatkan materi tentang implementasi empat pilar kebangsaan, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika dalam bidang politik, para peserta juga mendapat pembekalan mengenai pengelolaan website dan media sosial sebagai media marketing organisasi.

Sebab selama ini portal-portal keagamaan yang menguasai jagad maya lebih banyak dari kelompok dengan latar belakang pemahaman agama yang cenderung radikal. Bukan islam moderat seperti yang diusung oleh NU.

“Jika kita cari sesuatu yang berhubungan dengan agama, yang muncul pasti blog atau website yang cenderung radikal. Nah ini tugas fatayat, bagaimana kita bisa membuat dan mengelola konten medsos sebagai etalase organisasi kita,” tuntasnya.