Didik Kartika
Praktisi Marcom & Pengembangan Karakter
Selama 20 tahun mengenyam geliat dunia jurnalistik, merasakan spektrum komunikasi makin sering saya temui dalam keseharian. Tak hanya menemui pola komunikasi antara pemburu berita dengan narasumber, namun kerap juga bertemu dengan model relasi antar jurnalis. Hubungan ini yang sangat menarik sekali buat saya. Maka saya makin larut dalam profesi yang mendewasakan saya, sebab bertemu dengan banyak karakter per orang dalam berkomunikasi.
Meliput berita dan membuat karya jurnalis adalah wilayah studi kehidupan saya yang teramat berharga. Saking berharganya, saya sering menempatkannya lebih unggul dibanding kegiatan saya lainnya. Saya kira, hal itu juga dijumpai oleh rekan-rekan jurnalis yang sungguh-sungguh mendedikasikan dirinya pada integritas profesi jurnalis tersebut.
Dengan berjalan dalam idealisme yang terarah, saya menemukan model komunikasi baik verbal dan non verbal saat berdialektika dengan sesama rekan jurnalis. Setelah mengenal setahun, dua tahun, saya sudah bisa melihat kemana minat karya-karya tulisan mereka. Demikian pula ketika menjalin relasi dengan narasumber, makin tersegmen, mana narasumber yang pas terhadap kebutuhan untuk melengkapi karya-karya tulisan yang akan saya turunkan.
Seluruh proses dinamika tersebut cukup menarik, hingga saya punya kesempatan jenjang berkarier di meja redaksi sebagai redaktur di media cetak ternama di Kota Solo. Tempat saya menempa pengalaman berharga dengan membawahi banyak reporter, dimulai dari sini! Hampir 8 tahun saya menerima pekerjaan untuk merancang strategi liputan, me-manage (mengelola) para reporter, membuka akses ke berbagai narasumber hingga membangun jaringan dengan mitra-mitra kerja media tempat saya bekerja.
Pada awalnya bukan pekerjaan gampang mengelola 5 hingga 9 reporter yang menjadi tanggungjawab di desk (bagian) saya. Mengelola sedemikian banyak reporter dengan kehendak yang berbeda, pikiran kritis yang berbeda, minat dan niat yang berbeda serta cara kerja yang berbeda pula adalah pekerjaan olah seni. Seni berkomunikasi agar saya bisa mengelola dengan baik tim saya, dan itu terus saya lakukan.
Hal sederhana yang sering saya lakukan adalah mengajaknya makan bersama sembari rapat. Materi rapatnya bisa rancangan kerja yang global, atau rapat dengan bahasan yang ringan. Sementara banyak kawan-kawan saya di sesama redaktur kerap menggunakan fasilitas ruang rapat kantor yang ber-AC lengkap dengan whiteboard untuk corat-coret, namun saya memilih untuk rapat di warung soto dengan 5-9 orang tim saya.
Tampaknya pola yang saya lakukan pelan-pelan berbuah hasil. Sebab, saya bisa lebih dekat mengenal mereka, termasuk karakter yang melekat. Maka ketika saya bisa memahami
karakternya yang unik, saya bisa dengan mudah melihat keunggulan yang dimilikinya, yang tidak dimiliki rekan-rekan dia. Tidak membuang waktu lama, saya bisa merotasi untuk tugas-tugas yang pas untuk mereka.
Dengan menempatkannya pada bidang liputan yang pas, maka saya diuntungkan karena tidak ada blank spot (titik kosong) komunikasi di dalam tim saya. Saya pun tidak kehabisan energi untuk marah-marah karena kerjaannya tidak beres melulu. Mereka pun tanpa sadar juga ikut terbangun semangat, karena saya membantu menemukan pola liputan yang diinginkan sesuai karakternya.
Peran komunikasi yang terus-menerus dengan pola bersahabat, merupakan cara yang efektif untuk membantu saya menemukan kekuatan masing-masing orang untuk berkembang. Tak hanya menguntungkan, tetapi sangat menguntungkan sekali. Tinggal kita melihat tanggungjawab yang sudah diberikan, kita recharge lagi dengan dukungan riil saya untuk siap membantu turun ke lapangan apabila ada kesulitan menembus kasus atau narasumber tertentu.
Oya, nanti bagian kedua, saya akan membagikan lagi pola komunikasi di lini lain, di luar tim redaksi…(*)