Gagal Panen Berbuntut Pada Harga Gabah Melambung, Ini Siasat Pedagang Beras di Boyolali

Musim panen padi di sebagian wilayah Boyolali. (Yulianto/Fokusjateng.com)

FOKUS JATENG – BOYOLALI – Harga gabah hasil panen dari petani melambung tinggi. Hal ini dikarenakan dampak dari musim kemarau, sehingga mengakibatkan gagal panen (puso).

Kondisi ini langsung disiasati oleh para pedagang maupun produsen beras di wilayah Boyolali, Jawa Tengah. Untuk menekan kerugian, mereka mencampur beras lama dengan beras yang baru dipanen dari petani.

“Memang setiap pedagang memiliki teknik sendiri-sendiri,” terang Ketua Asosiasi Perberasan Soloraya Tulus Budiyono, Kamis 23 Agustus 2018.

Dikatakan, kini pedagang mengeluh tingginya harga gabah, baik gabah kering panen (GKP) dari petani maupun gabah kering giling (GKG).

“Pedagang mempunyai stok gabah yang waktu kulakan masih murah. Jadi kalau dicampur dengan yang beras baru, bisa mengangkat keuntungan,” ujar dia.

HKP saat ini sudah tembus Rp 4.800-5.000 per kilogram. Sedangkan GKB berkisar Rp 5.000-6.000 perkilogramnya. Harga gabah tersebut tergantung tingkat kualitas gabahnya.

“Harga beras dengan berkisar 9-12 ribu perkilogramnya saja,” paparnya.

Tingginya harga gabah ini disebabkan banyaknya serapan gabar dari pengusaha penggilingan gabah. Padahal jumlah stok gabah dari petani jumlahnya terbatas. Apalagi, banyak petani yang gagal panen akibat kekeringan.

Jelas saja, harga gabah terus melambung. Bahkan diperkirakan kenaikan harga gabah ini akan terus melambung tinggi seiring semakin banyaknya lahan yang gagal panen.

Selain faktor-faktor tersebut, berkurangnya lahan pertanian di Boyolali juga melambungnya . Hal itu disebabkan sebagian besar pembangunan jalan Tol Solo-Semarang dan Solo-Kertosono mengenai lahan-lahan produktif.