FOKUS JATENG-BOYOLALI-Masyarakat setempat menyebutnya Kopi Nangka. Kopi yang satu ini berbeda dengan kopi umumnya. Meski tanpa gula, rasanya sudah manis. Tanaman kopi ini banyak tumbuh di Desa Banyuanyar, Kecamatan Ampel, Boyolali, Jawa Tengah.
Meski sudah sejak jaman Belanda, namun selama ini masyarakat setempat belum mengolahnya sendiri. Masyarakat biasa menjualnya langsung ke pasar atau tengkulak dalam bentuk biji kering.
Baru, kemarin (7/9), Kopi ini disajikan langsung. Bertempat disalah satu rumah warga yang ada di Dukuh Ngemplak, Desa Banyuanyar, Kecamatan Ampel, launching Kopi dilakukan.
Di emperan rumah itu, Eko Budi Suroso seorang pramusaji kopi memperlihatkan bagaimana cara membikin minuman kopi mulai dari biji kopi. Biji kopi yang sudah di goreng itu mulanya dimasukkan kedalam penggilingan tangan.
Kopi yang sudah berubah menjadi serbuk itu kemudian dituangkan ke gelas penyaring. Agar rasanya pas, bubuk kopi yang akan disedu dengan air panas itu tak terlebih dulu ditakar.
“Takarannya harus pas. Untuk satu gelas kopi, bubuk kopi yang dibutuhkan seberat 1 gram,” ujarnya. Digelas penyaringan yang sudah ada kertas penyaring khusus itu, Eko kemudian mengucurkan air panas diatasnya.
Lagi-lagi dalam mengucurkan air Eko tak sembarangan. Ada jeda waktunya, antara air pertama dengan air berikutnya. “ Tuangan air pertama kita beri jeda 10 detik. Baru air panas selanjutnya dikucurkan biasa. Sampai memenuhi gelas,” ujarnya.
Launching Kopi siap sedu ini untuk lebih mensejahterakan masyarakat. Selama ini, masyarakat yang memiliki kopi hanya menjual kopinya dipasaran. Harganyapun sangat murah. Setiap kilo kopi kering, petani hanya mendapatkan uang Rp 25 ribu rupiah saja.
“Nilai ekonomisnya jaul lebih mahal kalau kita jual siap sedu,” kata Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Desa Banyuanyar, Sumeri.
Tanaman kopi banyak tumbuh di lahan yang ada di lereng Gunung Merbabu ini. palung tidak setiap petani memiliki 1 pohon kopi yang tumbuh subur. Tak hanya kopi Nangka saja, Kopi jawa dan Robusta juga banyak menjulang tinggi diarea lahan warga. Baik di ladang maupun di lahan pekarangan rumah.
Produksi kopi dari wargapun cukup melimpah. Setiap petani minimal bisa menghasilkan 1 ton kopi kering setiap tahunnya. Hasil yang begitu melimpah tersebut sangat rugi jika hanya dijual dipasar bebas.
“Kami harus berinovasi dalam mengolah kopi. Untuk itu, kami mencoba mengolah kopi terlebih dulu. Baik dalam bentuk bubuk maupun kopi siap santap untuk meningkatkan penghasilan,” imbuhnya.
Dia berharap, masyarakat semakin serius menanam dan merawat kopi untuk menghasilkan kopi yang berkualitas. Apalagi dengan dampingan dari Pemerintah daerah, produksi kopi bisa terus meningkat dan berkelanjutan.