FOKUS JATENG-BOYOLALI-Karena menerapkan pola tanam serentak, Kecamatan Nogosari saat ini menjadi andalan Kabupaten Boyolali sebagai produsen padi.
Hal terebut disampaikan Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Boyolali, Bambang Jiyanto saat melaksanakan panen padi di lahan pertanian di Desa Jeron; Kecamatan Nogosari pada Selasa (9/4). Panen padi jenis Mekongga ini merupakan hasil Musim Tanam (MT) 1 yang dilakukan sekitar akhir tahun lalu yang meleset karena curah hujan mundur.
“Andalan kami di Kecamatan Nogosari ini karena kekompakan petani sehingga menanamnya lebih kompak, hama penyakit bisa putus karena bisa diantisipasi dengan kekompakan dan penempatan rubuha dan pembinaan dari penyuluh lebih intensif,” terang Bambang Jiyanto.
Meski musim tanam yang mundur, pihaknya yakin mampu mencapai target di 2019 melebihi tahun 2018. Sehingga Boyolali tetap menjadi daerah lumbung padi dan lumbung pangan nasional. Untuk wilayah Nogosari sendiri padi ditanam pada lahan seluas lebih dari 2700 hektare sehingga predikat Boyolali sebagai lumbung padi dan pangan nasional tetap terjaga.
“Boyolali memang sesuai visi misi Bupati menjadi lumbung padi dan lumbung pangan nasional sehingga tidak perlu adanya impor. Saya yakin petani di Boyolali mampu menyediakan pangan bagi Boyolali dan nasional. Untuk kabupaten Boyolali, untuk 3 bulan terakhir ini kita bisa menanam 14.567 hektare disamping standing crop 15 ribu hektare. Khusus Nogosari ada sekitar 2700 hektare untuk MT 1 ini bisa panen 16.500 ton padi,” jelas Bambang lebih lanjut.
Meski sebagai sentra terbaik produsen padi, petani di Nogosari sangat dalam bertani mengandalkan sumberdaya alam kurang optimal karena berada di ujung saluran irigasi Waduk Cengklik. Sehingga kebutuhan air sangat terbatas. Untuk itu petani pada membuat pompa air, sumur namun ini belum bisa memenuhi kebutuhan padi sawah.
Salah satu petani, Budi Raharjo dalam MT 1 ini membutuhkan perjuangan yang ekstra keras. Meski kurang optimal pihaknya mampu panen dengan kisaran 6 ton per hektare dari hasil normal mencapai 9 ton.
“Dengan beberapa kali perjuangan Alhamdulillah panen di kelompok tani kami masih bisa panen meski kurang memuaskan. Sejak awal tanah sangat kekurangan air, sehingga saat tanam air tidak ada. Walaupun air tidak ada, dalam kondisi tanam kita harus segera tanam. Tanam terlambat pada usia 35-40 hari benih baru bisa tanam,” terangnya.
Untuk mengatasi hasl tersebut Ia mengandalkan pompa air dari swadaya petani dan sebagian batuan dari pemerintah. Untuk itu pihaknya berharap pemerintah di membantu petani terkait urusan paska panen, terlebih ketika harga jual gabah rendah.
“Kami mohon pemerintah bisa menangani serius. Saya yakin Indonesia dan petani mampu memproduksi padi. Pemerintah Kabupaten dan kecamatan sudah cukup untuk bantuan benih dan pendampingan dari tingkat penyuluhan dan lain-lain. Untuk tingkat pusat mohon bantuan untuk membantu menjaga harga agar tidak jatuh. Apalagi impor beras kami sangat prihatin,” tegas Budi.