FOKUSJATENG – JAKARTA – Kabag Penum Divhumas Polri, Kombes Pol Asep Adi Saputra menegaskan setiap personel Polri yang dibekali senjata api dalam berdinas harus menjalani pemerikasaan psikologis setiap enam bulan sekali.
“Setiap periode diperiksa senjatanya, pelurunya, dan orangnya,” ungkap Asep saat memberikan keterangan terkait tatacara kepemilkan senjata api yang harus dilalui oleh personel Polri.
Selain itu juga dijelaskan beberapa langkah terkait tes yang harus dilalui dalam proses kepemilikan senjata api dinas antara lain Polri akan melihat kepentingan petugas yang memegang senjata api tersebut, para personel tersebut harus mengantongi rekomendasi dari pimpinannya yang menjelaskan seseorang layak atau tidak memegang senjata api, seorang anggota harus lulus ujian psikotes, anggota tersebut juga harus lulus tes kesehatan, anggota tersebut harus lulus tes menembak serta treck record personel tersebut dalam berdinas.
“Kita lihat track record-nya jika yang bersangkutan lulus semua tahap tetapi track record-nya buruk misalnya berperilaku buruk, kekerasan kepada masyarakat maka tidak boleh memegang senjata api,” ungkap mantan Kapolrestabes Bekasi tersebut sebagaimana dilansir laman resmi Mabes Polri.
Sekadar informasi tambahan, seorang anggota polisi bernama Brigadir Kepala Polisi Rahmat Efendy, tewas ditembak Brigadir Rangga Tianto, di Polsek Cimanggis pada Kamis malam (25/7/2019) lalu. Dilansir dari AntaraNews, korban ditembak sebanyak tujuh kali oleh pelaku mengarah ke beberapa bagian tubuh seperti dada, paha, leher dan perut.
Dalam keterangan resmi, Effendi ditembak lantaran memproses pelaku tawuran yang merupakan keponakan Rangga.
Guru Besar Kriminologi Universitas Indonesia, Prof Adrianus Meliala menilai kasus polisi tembak polisi di Cimanggis, Kota Depok, Jawa Barat sebagai persoalan pribadi seorang polisi yang tidak punya kontrol diri dan tidak matang.
“Kejadian ini bisa terjadi bila pelaku kemungkinan tidak punya kontrol diri yang kuat dan kematangan pribadi yang tidak kuat,” kata Adrianus kepada Antara saat dihubungi di Jakarta, Jumat.
Pakar kriminologi ini mengatakan melihat kasus ini dari sudut pandang individual seorang anggota Polisi, jangan dilihat dari sisi institusi Polri.
Karena, lanjut Adrianus, sebagai individu, anggota polisi dalam hubungan kerja bisa memiliki konflik dengan sesama individu lainnya.
“Konflik yang begitu tajam bisa menimbulkan emosi dan itu menjadi mungkin karena polisi juga manusia, bisa marah, bisa kesal,” terangnya.
Yang menjadi permasalahan, lanjut dia, pelaku Brigadir Rangga Tianto sebagai individu yang memiliki akses terhadap senjata api. Sehingga ketika kontrol diri dan kepribadiannya tidak kuat jadi kebablasan menggunakan senjata tajam untuk memuaskan egonya.