Malam Satu Suro di Lereng Merapi, Ribuan Warga Ikuti Sedekah Larung Kepala Kerbau

Larung Kepala Kerbau di Lereng Merapi. (Yulianto) (/Fokusjateng.com)

FOKUSJATENG – BOYOLALI – Ribuan warga kawasan lereng Merapi menggelar tradisi sedekah gunung larung Kepala kerbau. Tradisi tersebut digelar untuk menyambut datangnya 1 Suro 1953 wawu (kalender jawa) dan 1 Muharram 1441 Hijriyah.

Untuk diketahui, larung kepala kerbau tak lepas dari cerita Kyai Petruk, atau Raden Handoko Kusuma yang dipercaya sebagai pengayom warga kawasan lereng Merapi.

“Istilah Petruk, menurut warga setempat, karena Handoko Kusuma mempunyai tubuh tinggi dan hidung yang panjang,” kata Paiman Hadi Martono tokoh masyarakat setempat di sela acara yang digelar pada Sabtu (31/8/2019) malam lalu.

Lebih lanjut Hadi menuturkan, Kyai Petruk adalah putra Pengageng Kapaniwon Cepogo. Pada masa mudanya dia senang lelaku dan bersemedi, selain sakti kyai Petruk dikenal sangat bijaksana. Sehingga masyarakat Selo dan sekitarnya, menganggap Kyai Petruk sebagai seorang pengayom, hingga Dia muksa di Lereng Merapi.

“Maka dipercaya disetiap malam 1 Sura, digelar sedekah gunung,” kata Hadi.

Tidak hanya kepala kerbau, namun ada perlengkapan lain, seperti, tumpeng sesaji dari nasi jagung, brubus dibuat dari batang lumbu, bothok sempura. Juga palawija komplit diantaranya singkong bakar, ketela bakar, minuman kopi dan rokok klobot.

Semua itu merupakan sarana persembahan untuk memohon kepada yang Maha Kuasa agar masyarakat diberi keselamatan hidup dan mendapat limpahan kesejahteraan.

Ritual sedekah gunung merupakan peninggalan nenek moyang yang turun temurun berkembang sampai sekarang. Sebelum masuk pada puncak acara pada malam hari, prosesi dimulai sejak Sabtu pagi dengan kirab budaya dengan mengarak mahesa (kerbau) yang akan dilarung di kawah Gunung Merapi. Diikuti seluruh masyarakat dari 10 dukuh di Desa Lencoh, kerbau diarak dari Dukuh Tritis sampai ke Joglo Mandala I Desa Lencoh.

Pada malam harinya, kepala kerbau dan perlengkapan lainnya sudah berada Joglo 1 Lencoh untuk didoakan. Ribuan warga sabar menunggu hingga seluruh prosesi berlangsung, tak menghiraukan dinginnya malam. Selanjutnya, kepala kerbau dilarung di puncak Merapi tengah malam.

“Sudah sejak sore, saya datang di lokasi acara bersama anak dan menantu. Kebetulan menantu saya asal Palembang dan baru sekali ini melihat acara larungkepala kerbau,” ujar Sarwono (56) warga Kecamatan Cepogo.

Prosesi upacara tradisional labuhan kepala kerbau sendiri diawali dengan menyediakan satu kepala kerbau yang dibalut dengan kain mori, dan sesaji tumpeng gunung dari nasi jagung yang dibuat dengan bentuk menyerupai gunung atau berupa gunungan, yang diarak keliling kampung oleh puluhan warga dengan menggunakan pakaian adat jawa menuju Joglo Merapi.

Rombongan warga pembawa kepala kerbau dan sesaji dengan cara ditandu tersebut diawali dengan barisan obor kemudian diikuti puluhan orang di belakangnya menuju tempat upacara untuk melakukan doa bersama memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk diberikan perlindungan dan kesejahterangan selama hidup di lereng Merapi atau kawasan gunung yang teraktif di dunia itu.

“Kepala kerbau sebagai sesaji setelah dilakukan doa bersama kemudian dibawa dengan cara dipikul oleh sejumlah warga menuju ke puncak Merapi saat tepat tengah malam,” ujar Hadi.

Sebelumnya, Wakil Bupati Boyolali M Said Hidayat, menuturkan tradisi tersebut merupakan kearifan warga sekitar Merapi yang tetap dilestarikan hingga sekarang. Tradisi kearifkan lokal lereng Merapi dulu ada sejarahnya pada zamannya pemerintahan Sinuwun Paku Buwono VI Raja Keraton Kasunanan Surakarta. Warga di lereng Merapi ini kata Said, dulunya dilanda wabah penyakit yang banyak menelan korban jiwa. Karena itulah, kemudian dilakukan ritual oleh para tokoh masyarakat mencari petunjuk agar dijauhkan dari malapetaka.