Petani Tembakau di Lereng Merapi Boyolali Berharap Harga Stabil, Ini Tujuannya

Petani Desa Sangup, Kecamatan Tamansari, Boyolali, panen tembakau. (Yulianto/Fokusjateng.com)

FOKUS JATENG-BOYOLALI-Petani tembakau di sebagian wilayah Boyolali berharap harga tembakau dapat terus stabil. Karena, komoditas ini menjadi salah satu tumpuan hidup saat musim kemarau. Senin (2/9/2019).

Tarto (56) warga Desa Sangup Kecamatan Taman sari, mengatakan tanaman tembakau menjadi salah satu tumpuan hidup para petani saat musim kemarau. Dari sisi pendapatan, Tarto tidak membantah hasil yang diperoleh lebih besar dibanding tanaman jagung, pepaya atau tanaman pangan lainnya.

“Tembakau bisa panen tiga sampai empat kali untuk sekali musim tanam,” katanya.

Hanya saja, kualitas tembakau yang dipanen sejauh ini tidak sesuai yang diharapkan. Setiap masa pemupukan, kata Tarto, selalu diiringi dengan lonjakan harga pupuk yang signifikan. “Setiap masa pemupukan, para petani selalu terkendala dengan kenaikan harga pupuk,” katanya.

Petani yang lain, Janto (43) warga Desa Sangup, mengaku selalu was was dengan dengan lonjakan harga dan kelangkaan pupuk yang selalu mengiringi di saat para petani membutuhkan. “Sebetulnya dari awal penanaman sampai panen yang dibutuhkan hanya sekitar, 4-5 zak pupuk. Tapi mau bagaimana lagi, kalau enggak ada barangnya, kalaupun ada harganya sangat tinggi,” katanya.

Biasanya harga pupuk jenis ZA dan Ponska harganya selalu wajar dan mudah didapat. Namun saat memasuki masa pemupukan mendadak kedua jenis pupuk itu sulit di dapat, kalaupun ada harganya jauh lebih tinggi dari rata rata. “Kalau misalkan barangnya ada, yang biasanya Rp75ribu per zak, bisa mencapai Rp125ribu. Ya kami hanya bisa manut, dan tidak bisa menolak,” katanya.

Baik Tarto maupun Janto mengaku tidak mengetahui penyebab kelangkaan dan lonjakan harga pupuk, namun mereka berharap pemerintah setempat memberikan solusi dan kebijakan.

Berkait harga tembakau, Janto mengatakan sejauh ini penjualan tembakau bisa dilakukan dengan dua cara. Pertama, daun tembakau dijual saat masih basah. Cara ini lebih cepat untuk mendapatkan uang, tapi dari sisi jumlah tidak banyak karena hanya dihargai sekitar Rp8.500 per kilogram.

“Tembakau yang baru di petik di imbu dulu seminggu biar matangnya merata, baru bisa dirajang,” katanya.
Kedua, memanen daun tembakau untuk kemudian dikeringkan baru dijual. Dari sisi proses, penjualan daun tembakau kering membutuhkan waktu karena petani harus menunggu dan rutin menjemur daun hingga kering.

“Butuh waktu tapi dari sisi hasil daun tembakau kering lebih mahal, tapi mayoritas petani lebih suka menjual saat masih basah,” katanya.

Kendati hanya menanam 1000 batang, Janto mengaku sangat terbantu karena hasil yang didapatkan lebih besar ketimbang tanaman lainnya.  “Ya cukup membantu, karena yang aman dari kera dan kemarau panjang hanya tembakau dan cabai,” katanya.

Menurut Janto para petani yang berharap banyak dari hasil panen tembakau. Salah satunya untuk membiayai sekolah anak hingga tingkat perguruan tinggi. “Kami berharap harganya selalu stabil, dan mudah mendapatkan pupuk,” katanya.