FOKUS JATENG-BOYOLALI-Gunung Tugel berada di Dukuh Kalangan, Desa Nglembu, Sambi, Boyolali. Ketinggian gunung itu mencapai 97,8 meter di atas permukaan (mpdl). Di puncak Gunung Tugel itulah terdapat makam Kyai Ageng Singoprono sepuh (I).
Menurut salah satu keturunan Kyai Singoprono, Kunto Darmono (60), Kyai Singoprono adalah putra dari kyai Ageng Wongsoprono II atau cucu dari Raden Djoko Dandun (Syeh Bela Belu) Putra Raja Majapahit ( Brawijaya V) , yang berdiam di daerah Desa Manglen, sekarang Kelurahan Walen Kecamatan Simo Boyolali. Namun Kyai Singoprono sering melakukan ritual di sebuah bukit di wilayah Desa Nglembu, Kecamatan Sambi, Boyolali.
“Dulu orang tua kami yang membangun tangga menuju ke makam, untuk ke sana (makam) ya harus menaiki sekitar 300 anak tangga.”
Sedangkan asal muasal penamaan Gunung Tugel, kata Kunto tak lepas dari pertarungan antara dua orang sahabat. “Kebijaksanaan dan ketajaman batin Eyang Singoprono kala itu tersebar sampai di seluruh daerah sekitar, hal itu pun tak lepas dari pandangan salah satu temannya, kyai Rogorunting,” katanya.
Kendati sudah berulangkali menguji ilmu bathin, tutur Kunto, tidak membuat Kyai Raga Runting puas, hingga akhirnya Kyai Raga Runting yang bertapa di Gunung Madu berinisiatif untuk menguji kesaktian. “Berulangkali Kyai Raga Runting menunjukkan kesaktiannya, akan tetapi Eyang Singoprono tidak tergerak hatinya untuk membalas,” katanya.
Hingga suatu hari Kyai Rogo Runting kembali menunjukkan kekuatannya kepada Kyai Singoprono, dengan cara mengaitkan benang dari pegunungan Madu dengan busur panah ditembakkan ke bukit selatan (wilayah Desa Nglembu, kecamatan Sambi Boyolali ) kemudian diatas benang diletakannya sebutir telur. “Telur di atas benang terus menggelinding,” katanya.
karena kesaktian Kyai Raga Runting telur tersebut tidak jatuh, bahkan terus menggelinding semakin kencang, tanpa terbendung telur itu membentur gunung sebelah selatan. Benturan telur dan gunung itu, menurut Kunto menimbulan suara ledakan yang sangat keras, ledakan itu pula yang mengakibatkan gunung itu putus puncaknya (tugel). “Sejak saat itu bukit itu dinamakan Gunung Tugel,” katanya.
Dia menuturkan, karena tidak ingin tindakan Kyai Raga Runting terus menjadi jadi dan semakin membahayakan warga sekitar, Kyai Ageng Singoprono berupaya menghentikan yang dilakukan Kyai Raga Runting. “Eyang menggunakan cara yang sama untuk membalas Kyai Rogo Runting,” kata Kunto.
Yakni dengan cara mengaitkan benang dari pegunungan tugel ke utara, di atas benang juga diletakkan sebuah telur, kemudian telur tersebut menggelinding tanpa terjatuh dan akhirnya membentur pegunungan Madu, sehingga mengeluarkan suara keras dan menggelegar, tetapi kejadian tersebut tidak mengakibatkan gunung Madu rusak.
Justru Kyai Rogo Runting tubuhnya tercerai berai atau tubuhnya terontang- runting. Jasad Kyai Rogo Runting kemudian dimakam kan di daerah perbatasan kecamatan Klego dan kecamatan Simo yang dikenal sebagai Pegunungan Rogo Runting.
Menurut Kunto di puncak Gunung Tugel selain terdapat makam Kyai Singoprono dan isterinya, juga ada dua makam abdi dari Kyai Singoprono. “Dulu dari Walen menuju Gunung Tugel, Eyang selalu menunggang kuda. Setelah kuda itu mati juga ditanam di kaki Gunung Tugel,” katanya.