“Database Pangan&Pertanian Terkesan Politis”

FOKUSJATENG – KARANGANYAR — Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan, Kota Solo, Jawa Tengah, menilai masih banyak berbagai pihak termasuk pemerintah yang kurang serius dalam menangani persoalan pangan dan pertanian. Terlebih, soal data base pangan dan pertanian terkesan tertutup dan sering kali menjadi kebijakan politik.

“Persoalan pertama ini soal data base. Poblem data pangan kita saat ini sangat politik. Misalnya dinas pertanian bilang stok pangan kita sekian dan akan kita tingkatkan tahun depan. Tapi tiba-tiba data cadangan pangan kita habis dan harus impor. Impor inikan kebijakan politik,” kata Direktur LPPT Rahadi, Selasa (06/10/2020).

Lebih lanjut Rahadi menjelaskan, ditengah kebijakan impor, kemampuan petani di Indonesia juga kian melemah. Hal ini tak lain minimnya insentif di sektor pangan dan pertanian. Misalnya subsidi pupuk ditarik, atau hanya dibatasi sangat kecil. “Sementara petani kita butuh subsidi untuk bisa bersaing dengan pasar bebas,” urai dia.

Khusus di daerah Solo Raya, LPPT yang bergerak soal pangan dan pertanian tidak memiliki data base yang memadai. Hal ini tak lain kebijakan soal pangan dan pertanian yang sangat kental dengan nuansa politik.

“Di Karanganyar pertanianya bagus, tapi untuk satu tahun kedepan cukup atau tidak saya tidak tahu. Karena ini soal politik, pangan itu soal politik yang tidak selesai sejak dulu. Sebenarnya pangan ini untungnya cuma sedikit, tapi menggiurkan, terutama beras. Karena semua butuh makan, apalagi menjelang Pilkada,” sebut Suhardi.

Ada persoalan pelik di sektor pangan dan pertanian. Disamping minimnya edukasi teknologi tepat guna pertanian, sampai keberpihakan pemerintah terkait lahan pertanian produktif. Kondisi inilah yang mengakibatkan minimnya generasi muda saat ini mau terjun ke sektor pangan dan pertanian. Tidak adanya jamianan yang jelas serta inovasi teknologi pertanian yang kurang mengakibatkan sektor ini lambat laun kian melemah.

“Yang saya lihat sampai detik ini pemerintah belum secara sungguh menggarap sektor ini. Misalnya bagiamana petani itu diedukasi untuk menghasilkan panen maksimal. “Coba kita lihat, dalam satu kecamatan berapa PPL yang tersedia, dalam seminggu berapa kali PPL datangi petani. Ini baru pertanian, belum peternak. Edukasi kesehatan ternak ini apa juga ada petugas turun tangan, paling kalau mau kawin sutik baru tutun, karena bayar,” urainya.

Minimnya generasi muda yang terjun ke sektor pangan dan pertanian tak lain karena tidak tertarik. Ada sejumlah faktor yang turut mempengaruhi, diantaranya ada pemberatan ekologi, salah satunya praktek ekologi hijau, demografi (tanah pertanian dipotong-potong untuk hunian), yang pada akhirnya mendesak ke desa, menjadikan tanah subur menjadi hunian.

“Selain itu tekanan nilai tukar dengan harganya saat panen sangat rendah. Ini menjadikan anak-anak muda enggan terjun ke sektor pertanian, apalagi tidak ada insentif. Kondisi ini diperparah dengan teknologi pertanian yang tidak bergerak dengan cepat. Misal teknologi irigasi, belum banyak petani kita yang menggunakan teknologi pepes, atau bendungan. Penerapkan teknologi di pertanian ini lambat sekali. Meskipun ada juga anak-anak muda yang keluar dari itu, dengan kreativitas masing-masing. Tapi jumlahnya juga tidak banyak,” tandasnya.

Oleh karena itu, LPPT mendorong bagaimana pangan menjadi perhatian bagi semua kalangan. Pasalnya, pangan dan pertanian ini merupakan sektor paling penting di sebuah negara. Sektor pangan juga menjadi persoalan mati hidupnya suatu bangsa. “Maka PR kita adalah bangkitkan lagi sektor pangan, bagaimana kedaulatan pangan ini bisa terwujud kembali. Banyak bangsa-bangsa lain yang menyebut pangan itu menjadi satu hal sangat prioritas. Misalnya di Korea itu punya slogan “beras itu senjata”. Orang sejarah sangat tahu itu, bagaimana Sultan Agung itu kalah karena pangan, karena gudangnya dibakar. Oleh karena itu, pasca Pandemi Covid 19 ini bisnis yang paling menjajanjikan adalah sektor pangan dan pertanian,” pungkasnya.