FOKUS JATENG-BOYOLALI-Kendati harus menerapkan protokol kesehatan, warga di lereng Gunung Merapi tepatnya di Dukuh Mlambong Desa Sruni Kecamatan Musuk Kebupaten Boyolali, tetap menggelar tradisi Syawalan atau Lebaran Ketupat dengan mengarak ternak sapi keliling kampung setempat. Bahkan, ada seekor sapi yang diarak juga diberikan masker pada moncong mulutnya. Warga juga senantiasa diingatkan agar tetap menjaga jarak, Kamis (20/5/2021).
“Tradisi digelar tidak secera resmi seperti tahun-tahun sebelumnya, tetapi terbatas dilingkungan RT masing-masing karena COVID-19,” kata Joko Lumadi warga setempat.
Dia menuturkan, ini adalah keduakalinya tradisi arak- arakan sapi digelar sederhana. Tradisi tersebut rutin dilakukan warga di lingkup RW 04, Dukuh Mlambong, Rejosari dan Gedongsari, Desa Sruni. Tradisi ini dilaksanakan setiap tahun sekali, digelar di akhir perayaan Lebaran atau di H + 7 Lebaran.
Yaitu bertepatan dengan kupatan atau syawalan. Oleh masyarakat setempat juga biasa disebut bakdo kupat dan bakdo sapi. Bahkan warga juga memberi makan sapi dan ternak seperti kambing miliknya dengan ketupat hasil olahan sendiri.
Meskipun demikian, ada beberapa peternak yang tetap menggelar ritual. Yakni dengan menggiring ternak keliling kampung. Pemuka masyarakat juga tidak melarang jika ada masyarakat yang ingin mengeluarkan hewan ternaknya secara pribadi.
“Ya tetap ada sebagian warga yang tetap membawa ternak sapinya keliling kampung dalam Syawalan kali ini. Hanya ada tiga puluhan ekor sapi dibawa keliling kampung. Padahal, biasanya mencapai ratusan ekor lebih,” imbuh Jupri (41) warga lainnya.
Menurut Jupri, biasanya ada ratusan ekor ternak sapi dan kambing milik masyarakat di Desa Sruni dikeluarkan dari kandangnya kemudian dikumpulkan dan diarak keliling kampung pada tradisi Syawalan atau Lebaran Ketupat. Arak-arakan itu dilakukan setelah masyarakat melakukan doa bersama dan kenduri, kemudian mereka pulang ke rumah masing-masing mengambil ternaknya dibawa ke jalan utama desa untuk berkumpul.
Saat itu ritual berlangsung sangat meriah. Bahkan, mampu menarik perhatian wisatawan baik lokal maupun mancanegara.
“Jika satu desa jumlahnya ada 250 ekor lebih ternak dengan diiringi kelompok musik gamelan khas jawa reog untuk diarak keliling kampong, tapi sekarang tidak,” imbuhnya.
Dijelaskan, pada penyelenggaraan tahun ini, karena pandemi diikuti terbatas sehingga tidak sampai terjadi kerumunan massa. karena kondisi masih pendemi COVID-19. Namun, warga menyadari untuk mencegah penularan COVID-19, maka tradisi Syawalan atau Lebaran ketupat melaksanakan terbatas dengan masing-masing rumah atau lingkungan RT sehingga tidak terjadi kerumunan.
“Karena, masih masa pandemi COVID-19, warga yang ikut hanya sendikit dan tetap protokol kesehatan,” pungkasnya.