FOKUS JATENG-BOYOLALI-Peningkatan aktivitas Merapi dan pandemi Covid 19 tidak menyurutkan warga Selo Boyolali menyambut datangnya 1 Suro 1955 wawu (kalender jawa) dengan menggelar tradisi sedekah gunung larung Kepala kerbau. Senin (9/8/2021)malam.
“Kami tetap menyelenggarakan sedekah gunung meskipun dengan sangat sederhana,” kata tokoh masyarakat Selo, Paiman Hadi Martono, Senin (9/8/2021) siang.
Namun, sejak dua tahun ini, tradisi ini dilakukan tanpa kirab kerbau keliling kampung menuju pendopo Joglo Mandala I Desa Lencoh, namun hanya menggelar satu tumpeng agung, 7 tumbeng kecil, satu tumpeng rosul dan sesaji kepala kerbau, ritual pun dilakukan di kediaman ketua Rukun Warga setempat.
“Selama Corona ini, ritual sedekah bumi ini tidak di Joglo Merapi tapi dilaksanakan secara sederhana di rumah warga, bahkan untuk labuhan kepala kerbau di Pasar Bubrah Merapi hanya terbatas 10 orang,” ujarnya.
Menurut Paiman, larung kepala kerbau tak lepas dari cerita Kyai Petruk, atau Raden Handoko Kusuma yang dipercaya sebagai pengayom warga kawasan lereng Merapi.
Dia menuturkan, Kyai Petruk adalah putra Pengageng Kapaniwon Cepogo. Pada masa mudanya dia senang lelaku danbersemedi. Karena sangat bijaksana, kemudian masyarakat Selo dan sekitarnya, menganggap Kyai Petruk sebagai seorang pengayom, hingga Dia muksa di Lereng Merapi.
“Maka dipercaya disetiap malam 1 Sura, digelar sedekah gunung,” katanya.
Tidak hanya kepala kerbau, namun ada perlengkapan lain, seperti, tumpeng sesaji dari nasi jagung, brubus dibuat dari batang lumbu, bothok sempura. Juga palawija komplit diantaranya singkong bakar, ketela bakar, minuman kopi dan rokok klobot.
Semua itu merupakan sarana untuk memohon kepada yang Maha Kuasa agar masyarakat diberi keselamatan hidup dan mendapat limpahan kesejahteraan, menurut Paiman, tradisi sedekah gunung merupakan peninggalan nenek moyang yang turun temurun berkembang sampai sekarang.
“Kalau tidak ada Corona, tradisi ini akan diikuti seluruh masyarakat dari 10 dukuh di Desa Lencoh, kerbau diarak dari Dukuh Tritis sampai ke Joglo Mandala I Desa Lencoh. Setelah diselenggarakan, kepala kerbau dilarung di puncak Merapi pada tengah malam,” ujarnya.
Paiman menuturkan, prosesi upacara tradisional labuhan kepala kerbau sendiri diawali dengan menyediakan satu kepala kerbau yang dibalut dengan kain mori, dan sesaji tumpeng gunung dari nasi jagung yang dibuat dengan bentuk gunungan, yang diarak keliling kampung oleh puluhan warga dengan menggunakan pakaian adat jawa.
Dari Joglo Merapi, rombongan mengusung kepala kerbau dan sesaji dengan cara ditandu. Paling depan adalah barisan obor kemudian diikuti beberapa orang di belakangnya menuju tempat upacara untuk melakukan doa bersama memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk diberikan perlindungan dan kesejahterangan selama hidup di lereng Merapi atau kawasan gunung yang teraktif di dunia itu.
“Kepala kerbau sebagai sesaji setelah dilakukan doa bersama kemudian dibawa dengan cara dipikul oleh sejumlah warga menuju ke puncak Merapi saat tepat tengah malam,” ujar Paiman.