Pengrajin Logam di Tumang Cepogo Boyolali Mulai Menggeliat

Pengrajin logam di Tumang Cepogo Boyolali. (Yulianto/Fokusjateng.com)

FOKUS JATENG-BOYOLALI-Kerajinan logam di kawasan industri kerajinan logam di Cepogo mulai menggeliat kembali. Kendati selama masa pandemi harus menghadapi kenaikan harga logam dan bersaing dengan produk luar negeri, namun hingga awal September permintaan justru meningkat.

“Kenaikan harga logam per lembar mencapai 40 persen, tapi tidak begitu berpengaruh terhadap permintaan,” kata Manto (54) perajin logam pemilik PT Pamungkas, di Dusun Tumang, Desa Banaran Kecamatan Cepogo, Boyolali. Kamis (9/9/2021).

Saat ini, Manto dibantu dua pekerjanya. Saat ini, dia tengah menggarap dua proyek, pertama pesanan kubah dari jepara. Kedua pesanan westafel tembaga dari Jepang. Pesanan baru ini memberikan gairah bagi para perajin. “Ini pertanda dapur rumah mulai mengepul kembali,” ujarnya.

Sebelumnya, kata Manto sejumlah pesanan sempat tertunda akibat pandemi virus Corona, kini kembali mulai digarap. Seperti pesanan dari Arab Saudi senilai Rp 400 juta, Selandia Baru Rp 120 juta, Jepang Rp 10 juta dan juga Australia senilai Rp 80 juta.

“Kini pasokan oksigen untuk pengelasan juga kembali normal, Rp 100 ribu pertabung. Tapi yang mahal bahan baku tembaganya, naik 40 persen. Dari harga Rp 1,8 juta menjadi Rp 2,8 juta perlembar dengan ketebalan 1 milimeter (Mm),” kata Manto.

Belum lagi pengeluaran untuk membayar para pekerja yang semula ada 40 orang, turun menjadi 12 orang. Dia juga dibantu delapan sub perajin rumahan.

“Sebelumnya modal usaha sudah habis untuk kebutuhan sehari-sehari selama pandemi. Untuk mulai lagi, saya terpaksa menjual sebidang tanah untuk modal,” katanya.

Menurut Manto, meski saat sudah mulai bangkit, namun kerajinan tembaga memiliki tantangan ke depan. Selain ketersediaan tenaga ahli yang masih kurang faktor kenaikan harga bahan baku ikut memberikan dampak. Kondisi tersebut membuat kerajinan tembaga terpaksa naik sekitar 10-20 persen.

“Ya terpaksa naik, dan itupun ada juga pembeli yang menunda beli. Tapi tidak apa-apa. Untuk westafel pesanan Jepang diharga Rp 700 ribu, sedangkan pesanan air mancur dari Australia seharga Rp 7 juta. Itu sudah cukup untuk balik modal,” katanya.

Terkait hal itu, Manto ingin, sentra industri tembaga di Tumang tetap hidup. Tak hanya memberdayakan pemuda setempat, dia berniat membuka sekolah kejuruan perajinan tembaga. Dia juga menggandeng Universitas Negeri di Kota Semarang dan Solo untuk mendukung idenya.

“Sekolah kerajinan tembaga ini agar ada anak muda yang melestarikan. Juga untuk ketersediaan tenaga kerja. Kerajinan di sini tidak kalah sama luar negeri,” katanya.

Menurut dia, produksi kerajinan logam Tumang memiliki kualitas bagus dan digemari konsumen luar negeri, karena memiliki desain yang unik, sehingga berani bersaing dengan produk luar. “Kami produk menang didesain dan semuanya dibuat dengan cara tradisional sehingga sulit ditiru,” pungkasnya.