Tradisi Saparan Pengging, Tahun Ini Digelar Sederhana

saparan

Sebelum pandemi Covid19, puluhan ribu apem diperebutkan ribuan warga pada tradisi Saparan atau sebaran apem di kawasan wisata religi Pengging, Banyudono (/Fokusjateng.com)

FOKUS JATENG-BOYOLALI-Tradisi sebaran apem kukus keong mas atau Saparan di kawasan Pengging, Banyudono, Boyolali tahun ini digelar secara sederhana. Penyelenggara meniadakan kerumunan massa, karena masih PPKM level 2.
“Tradisi sebaran apem kukus keong mas tahun ini sengaja di gelar secara sederhana. Sama seperti tahun lalu, dikarenakan kondisi belum memungkinkan,” kata Camat Banyudono, Jarot Purnama .
Menurut Jarot, kegiatan tahunan itu, kali ini digelar secara sederhana agar tidak mengundang kerumunan massa. Hanya dihadiri 30 orang saja dengan menerapkan protokol kesehatan secara ketat. Kegiatan yang berlangsung di aula S Paryanto SH MH Komplek Kantor Kecamatan Banyudono ini sekaligus sosialisasi cukai tembakau juga diisi dengan pentas wayang kulit ringkas, pada Kamis (28/10/2021) malam.
“Pentas mengambil lakon Dewa Ruci oleh dalang Ki Agung Pengging dari Desa Bendan, Banyudono,” katanya, Jumat (29/10/2021).
Jarot menuturkan, saat sebelum pandemi Covid-19, ritual sebaran apem digelar rutin setiap tahun pada jumat terakhir bulan Sapar pada penanggalan Jawa. Gunungan apem dikirab dari halaman Kantor Kecamatan Banyudono hingga depan Masjid Ciptomulyo untuk disebar dan diperebutkan masyarakat.
Adapun tradisi ini bermula ketika terjadi pagebluk, tanaman padi diserang hama kong emas di daerah Pengging. Kemudian, Raden Ngabei Yosodipuro, pada zaman pemerintahan Pakubuwono II Keraton Surakarta memerintahkan agar keong emas itu diambil dan dimasak dengan cara dikukus dan dibalut menggunakan janur.
Akhirnya, hama keong emas dan tikus itu bisa hilang dan panen rakyat melimpah. Sebagai rasa syukur, kemudian Raden Ngabei Yosodipuro memerintahkan kepada warga membuat apem kukus keong emas untuk dibagi-bagikan kepada masyarakat luas.
“Untuk tahun ini hanya digelar terbatas, tanpa sebaran apem tapi hanya diisi dengan rangkaian dzikir tahlil dengan harapan semoga pandemi ini segera berlalu,” katanya.
Ritual itu sendiri bermula dari jaman R. Ng Yosodipuro, saat pemerintahan Pakubuwono II. Yosodipuro merupakan seorang pujangga sekaligus ulama yang menyebarkan agama Islam di wilayah Pengging.