Ini Penampakan Cagar Budaya Watugentong, Sebelum Memasuki Candi Watugenuk

watugentong

Cagar Budaya Watugentong Kragilan masih kerap dikunjungi warga (/Fokusjateng.com)

FOKUS JATENG- BOYOLALI- Keberadaan Candi Watugenuk yang baru saja selesai di ekskavasi oleh tim BPCB Jateng ternyata tak lepas dari keberadaan Watugentong. Yakni sebuah batu cagar budaya menyerupai gentong (tempayan) yang berada disisi Kali Kragilan, Desa Kragilan, Kecamatan Mojosongo.
Lokasinya di sisi jalan jalan raya Kragilan- Singkil, Boyolali Kota. Yaitu di dekat jembatan. Tepat di pintu masuk bangunan terdapat tulisan Sesepuh Watugenuk Darmosuwiryo 1 Suro 1923. Tanggal tersebut adalah dibangunnya tempat itu. Di dalamnya juga terdapat dua tempat untuk membakar dupa.
Cagar budaya Watugentong itu berbahan Baku dari batu andesit. Memiliki sabuk dengan ukiran di bagian tengah kulit luarnya. Gentong tersebut, Bagian separuh badan kebawah tertanam ke dalam tanah. Sehingga, hanya kelihatan bagian separuh ke atas saja.
“Watu Gentong itu berbentuk Oval, kecil pada ujung bibir luarnya dan elebar bagian sisi tengah hingga bagian dasar bawahnya dan Gentong tersebut tidak di angkat dan di perwujudkan secara keseluruhannya.” kata Surojo, sejarawan Boyolali.
Ia menambahkan, untuk ukuran diameter gentong tersebut memiliki ketebalan sekitar 20 cm, lebar diameter bagian Mulut atas 60 cm, kemudian diameter bagian tengah kulit luar sekitar 80 cm dengan kedalaman sekitar 86 cm.
“Bangunan itu tanpa atap,” katanya.
Menurut Sriyono, tokoh Hindu Desa Kragilan, Kecamatan Mojosongo, Watugentong terkait erat dengan Candi Watugenuk. Jaraknya, jika diambil aris lurus ke Candi Watugenuk sekitar 500 meter. Watugentong diyakini sebagai tempat bersuci sebelum umat Hindu sembahyang di Candi Watugenuk.
“Pada masa itu, Watu gentong tersebut di fungsikan untuk menampung air suci yang dialirkan dari sumber mata air di sebelahnya,” ujarnya.
Ia menuturkan, sebelum mengadakan pemujaan di lokasi berdirinya bangunan suci Candi Watugenuk, biasanya mengambil air dari Watu Gentong dan dimasukan ke dalam bejana kecil atau gerabah, setelah di bacakan matera. Kemudian, air suci tersebut di jadikan sarana untuk pemujaan.
“Pengambilan air suci biasanya dari sebuah sendang mata air. Karena air itu akan di pergunakan sebagai media jamasan atau murwa candika. Sebagai sarana untuk penyiraman ke bagian yang di anggap benda paling penting,”ujarnya.
Pihaknya juga berharap jajaran terkait memberikan perhatian terhadap keberadaan Watugentong. Hal itu seiring dengan penemuan Candi Watugenuk. Dimana disana dipastikan satu candi utama dan tiga candi perwara.