FOKUS JATENG-BOYOLALI- Perajin usaha kecil mikro menengah (UMKM) keripik usus dan belut di Boyolali terpaksa harus mengurangi jumlah produksi, lantaran kelangkaan minyak goreng yang diikuti kenaikan harga sejumlah komoditas yang menjadi kebutuhan pokok seperti bawang putih dan tepung.
Menurut perajin UMKM keripik usus dan belut asal Dukuh Jetak, Desa Jembungan, Banyudono, Setianingsih (56) mengeluhkan sulitnya mendapat minyak goreng baik subsidi maupun non subsidi. Bahkan setiap pagi, dia rela mengantri dari toko modern satu ke toko modern lainnya. Sehingga produksi usus keripiknya ikut turun.
“Sehari harus mengantri ke 5-6 toko. Dapatnya juga tidak mesti, saya juga mengajak suami buat bantu beli. Karena kebutuhan minyak banyak. Itupun kadang cuma dapat 3 kemasan, pernah juga dapat satu karton. Tapi jarang dapatnya,” keluhnya.
Perajin keripik usus dan belut lain asal Dusun Peni, Desa Kuwiran, Banyudono, Ririn Trisnawati (40) mengatakan kelangkaan minyak goreng membuat dia kesulitan produksi. Normalnya dia bisa memproduksi 400-500 kilogram usus goreng /hari. Untuk kebutuhan minyak mencapai 100 liter /hari. Bahkan saat harga minyak melambung, dia masih bisa produksi normal.
“Kini setelah minyak goreng langka, kami hanya bisa memproduksi usus gorwng 250-270 kilogram/hari.”
Munculnya minyak goreng subsidi, kata Ririn, hanya menambah kesulitan. Dia hanya mendapatkan tiga kardus migor seharga Rp 17 -Rp 18 ribu/liter. Itupun, tiap pembelian minyak goreng, dia juga harus membeli produk penyerta lainnya senilai minyak goreng tersebut.
Ia menuturkan produksi keripik usus miliknya bahkan sempat terhenti selama tiga hari,dikarenakan tidak mendapat pasokan minyak goreng. Padahal pesanan usus goreng miliknya dikirim ke kota-kota di Jawa -Bali. Tiap kota besar dia bisa menyetor hingga 700-800 bal ukuran 2 kilogram/minggu. Karena produksi anjlok, dia hanya bisa mengirim 200 bal.
“Kalau yang langka usus atau bahan bakar gas masih bisa diantisipasi. Karena penyuplai banyak. Kalau minyak langka, cari di mana-mana gak ada. Lebih berat,” katanya.
Hal tersebut berimbas pada penggunaan gas LPG. Semakin lama penggorengan, gas LPG yang digunakan juga semakin banyak. Belum lagi harga tepung terigu dan tapioka yang ikut merangkak. Satu sak terigu ukuran 50 kilogram seharga Rp 187 ribu dan tapioka seharga Rp 235 ribu/sak. Harganya naik hingga Rp 7 ribu/sak. Tak hanya itu, harga bawang merah kupas juga naik Rp 32 ribu/kilogram.
“Perajin seperti saya kalau mau menaikan harga, ya, susah. Paling kita berani menaikan Rp 1.000. Dan itupun dimomen-momen tertentu saja seperti lebaran. Kami berharap, pemerintah bisa membuat harga normal. Meski jatuhnya juga Rp 18.600 tapi masih gampang dicari. Lalu ada penurunan subsidi malah membuat minyak langka. Saya milih minyak harga mahal asal tidak langka. Daripada seperti ini,” katanya.