Warga Lereng Merapi Gelar Tradisi Sadranan

FOKUS JATENG- BOYOLALI-Warga kawasan Lereng Merapi Merbabu kembali melestarikan tradisi sadranan, setelah dua tahun terhenti akibat pandemi COVID-19.
Sebelumnya, tradisi ini sudah dilakukan turun- temurun sejak sekitar tahun 1462 Masehi. Tradisi sadranan digelar bergantian di setiap desa dimulai tanggal pertengahan bulan Ruwah pada penangalan Jawa.
Seperti di Dusun Tunggulsari, Desa Sukabumi, Kecamatan Cepogo, pada Minggu (20/3/2022).
Warga sejak pagi sudah membawa bakul atau tenong berisi aneka makanan untuk dibawa ke makam Puroloyo di Dusun Tunggulsari, Desa Sukabumi ini. Makam tersebut sudah dibersihkan sehari sebelumnya. Kemudian, dilakukan doa bersama dan shalawatan.
“Tradisi sadranan ini sudah turun temurun yang jatuh pada bulan Ruwah, atau bulan arwah atau bulan Sya’ban. Tapi saat ini kan harus diatur, tidak semeriah dulu. Tradisi ini sudah ada dari zaman Mbah Bonggol Jati atau Syekh Maulana Ibrahim, penyebar agama Islam di daerah sini yang berasal dari Demak. Mungkin sudah 450-an tahun digelar,” papar KH Maskuri, sesepuh warga Desa Sukabumi, ditemui usai memimpin dzikir tahlil dan doa dalam sadranan di makam Puroloyo.
KH Maskuri menambahkan, awal mula tradisi sadranan ini ketika jaman Wali Songo bersama pengikutnya melakukan dakwah atau penyebaran agama Islam. Di wilayah ini, konon dahulu kala ditempat ini belum mengenal agama. Namun mereka sudah berkumpul melakukan doa.
“Lalu diarahkan menjadi sadranan ini. Sadranan ini memiliki arti agar hatinya teringat kepada leluhur, orang tua,” kata KH Maskuri.
Tradisi tersebut terus berlangsung hingga sekarang. Setiap pertengahan bulan Ruwah para ahli waris melakukan ziarah ke makam-makam leluhurnya.
“Kemudian daripada dilakukan sendiri-sendiri, kita adakan secara bersama-sama. Doa bersama, dzikir, tahlil. Di makam Puroloyo ini, dilaksanakan selama tiga hari. Diawali dengan Haul Kubro yang diikuti oleh para ahli waris untuk mendoakan para leluhur mereka,” imbuh KH Maskuri.
Menurut KH Maskuri, dalam sadranan atau bubak di makam ini, setiap warga membawa tenong berisi berbagai makanan. Setelah dzikir, tahlil dan doa bersama di makam teraebut, tenong pun dibuka dan digelar makan bersama.
“Pakemnya ya tenong harus berbentuk lingkaran. Karena maknanya, kita hidup bersama-sama harus rukun. Karena kita menyatu dengan alam, manusia dan saling berkaitan satu sama lain.”
Adapun makanan yang dibawa sebagai bentuk memuliakan tamu. Karena banyak juga anak cucu dari sanak saudara yang di makamkan di Puralaya tinggal diluar desa. Maka tak jarang, waktu Sadranan menjadi momentum bersilaturahmi dan pulang kampung.
“Tradisi ini merupakan bentuk kegiatan amaliyah dari warga. Sebagai bentuk mendoakan pada para leluhur yang sudah meninggal dunia,” jelas KH Maskuri.
Kendati tahun ini digelar lebih sederhana, semangat masyarakat tetap terjaga. Mereka tetap membuka pintu rumah. Menyambut tamu dari saudara jauh yang mampir. Di tengah pembatasan pandemi, lalu lalang masyarakat yang ingin bersilaturahmu tak seramai dua tahun lalu. Namun, arus lalu litas terpantau ramai, namun, lancar.