FOKUS JATENG-BOYOLALI-Salah satu tradisi penganut agama Islam yang unik dan tetap bertahan di tengah gempuran gelombang modernisasi adalah tradisi malam selikuran (malam ke-21)di bulan Ramadan.
Tradisi malam selikuran adalah sebuah tradisi masyarakat Islam di Jawa dalam meramaikan bulan Ramadan dengan cara menyalakan tinthir atau lampu minyak dan obor bambu tepatnya pada 10 hari terakhir bulan Ramadan.
Tradisi menyalakan tinthir dan obor bambu untuk meningkatkan ibadah dengan membaca ayat suci Al Quran di alam terbuka ini, masih dilakukan oleh para santri Pondok Pesantren Nurul Hidayah Al Mubarokah, Dukuh Tempel, Desa Sempu, Andong, Boyolali.
Seperti pada Jumat 22 April 2022 malam. Dengan membawa obor, ratusan Santri dan santriwati berbaris rapi keluar dari Ponpes. Sembari melantunkan sholawat, mereka menuju lapangan yang ada disebelah ponpes tersebut. Setibanya di lapangan seratusan santri itu langsung duduk di atas tikar yang telah di berikan meja serta Senthir.
Tanpa menunggu aba-aba, setelah seluruh santri duduk mushaf Al-Qur’an yang telah dibawa langsung dibuka.
KH Nur Rochman pimpinan Ponpes langsung memimpin pembacaan Al Qur’an. Kendati terlihat remang-remang diwarnai kepulauan asap hitam tipis yang keluar dari Sentir dan obor kian menambah khidmat lantunan ayat-ayat suci yang dibaca para santri itu.
“Mengaji dengan penerangan terbatas ini dulu dilakukan para ustadz-ustadz yang mengajar di Ponpes ini. Begitu juga dengan ulama-ulama, bahkan wali penyebar Agama Islam terdahulu yang menggunakan lampu tintir, untuk membaca ayat-ayat suci al-Quran,” kata KH Nur Rochman.
Kegiatan ini sudah dilaksanakan beberapa tahun lalu dan setiap tahun mengalami perkembangan.
Mengaji dengan Senthir pada malam selikuran ini juga untuk menyambut malam Lailatul Qadar.
Dengan melakukan kegiatan ibadah dimalam Lailatul Qadar ini, para santri mendapatkan keberkahan yang menurut riwayat pahalanya yang didapat dalam malam Lailatul Qadar ini lebih besar dari pada ibadah 1000 bulan.
” Menurut beberapa riwayat malam Lailatul Qadar itu turun pada malam-malam ganjil. Makanya di malam selikuran ini kami ingin menggunakannya untuk beribadah membaca Al Qur’an.”
Ditemui terpisah, M Asyari warga Boyolali, menuturkan tradisi masyarakat muslim di Jawa untuk menyambut malam Lailatulqadar terjadi pada Ramadhan tanggal ganjil di mulai pada malam ke-21 (selikur). “Dimana, Malem Selikur berasal dari kata malem yang berarti malam dan selikur yang berarti dua puluh satu. Malem Selikur, atau Selikuran ini diyakini sudah ada sejak awal penyebaran agama Islam di tanah Jawa.”
Adapun tradisi selikuran ini, lanjut Asyari, adalah salah satu metode Wali Sanga dalam berdakwah yang disesuaikan dengan adat-istiadat orang Jawa.
“Selikur juga diartikan sebagai sing linuwih ing tafakur. Artinya sebagai ajakan untuk mendekatkan diri pada Allah, merenung, instropeksi diri, dan meningkatkan ibadah.”