FOKUSJATENG.COM , KARANGANYAR – Mojoroto, desa terkecil secara demografi diantara 13 desa yang masuk dalam wilayah Kecamatan Mojogedang, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.
Berjarak 15 km dari pusat kota pemerintahan Kabupaten Karanganyar, untuk sampai ke desa Mojoroto.
Secara geografis, wilayah barat Desa Mojoroto berbatasan dengan Desa Gebyok, sebelah utara berbatasan dengan Desa Gentungan, sebelah timur berbatasan dengan Desa Pojok dan di sebelah selatan berbatasan dengan Desa Cerman. Luas wilayah adminstratif Desa Mojoroto mencapai 443.9350 hektar.
Dalam literasi sejarah , Mojoroto disebut sebagai bagian dari wilayah Praja Mangkunegaran, dengan leluhur pendiri yakni RMT Karjan.
Di desa ini pula terdapat sumber mata air yang mengalir tiada henti. Air yang keluar dari mata air tersebut juga sangat jernih dan menyegarkan. Tempat ini dikenal dengan Sendang Bejen, yang tepatnya berada di Dusun Dawe.
Sendang Bejen juga dikenal masyarakat sebagai sebuah situs petilasan atau lokasi bekas peninggalan yang menyimpan histori masa lampau.
Kesadaran serta kepedulian masyarakatnya yang tinggi terhadap keberadaan situs bernilai sejarah, membuat Sendang Bejen terawat dengan baik hingga saat ini.
Sebagai lokasi wisata, gapura atau gerbang masuk komplek Sendang Bejen kini sudah didesain menyerupai bentuk candi. Bahkan, sejumlah bentuk bangunan yang ada pun tersusun begitu rapi dan indah.
Konon, pada masa penjajahan kolonial Belanda, Sendang Bejen digunakan oleh Raden Mas Said atau Adipati Mangkunegara I yang berjuluk Pangeran Sambernyawa sebagai tempat persinggahan juga persembunyian dari kejaran para tentara dan antek VOC – Belanda.
Di Sendang Bejen ini pula, Pangeran Sambernyawa mensucikan diri dan melakukan semedi atau meditasi dan menyusun strategi sekaligus melatih prajuritnya untuk menggempur balik tentara Belanda.
Ada temuan baru yang cukup menarik tentang Mojoroto yang belakangan ini diungkap lewat penelusuran sejarah oleh Solo Societeit, sebuah komunitas pegiat dan pemerhati sejarah dan budaya di Kota Solo.
Kupasan sejarah mengenai Desa Mojoroto dan Sendang Bejen, dijabarkan oleh Ketua Solo Societeit, Doni Saptoni, dalam Focus Group Discution (FGD) bertajuk Menggali Potensi Pengembangan “Desa Wisata Religi, Budaya dan Sejarah Sendang Bejen, Petilasan RM. Said (Pangeran Sambernyawa), yang digelar pada 28 April 2022 lalu.
Acara diskusi sejarah yang dimoderatori Ir. Agus Gunawan Wibisono dari Lembaga Gerak Pemberdayaan (LeGePe) itu, juga menghadirkan Kepala Disdikbud Kabupaten Karanganyar Yopi Eko Jati Wibisono dan Kepala Dispermades Kabupaten Karanganyar Sundoro Budhi Karyanto.
“Solo Societeit berusaha mendokumentasikan aspek sejarah dari jejak sosok Pangeran Sambernyawa. Beberapa waktu lalu, kami juga mendokumentasikan tentang kesejarahan di Tanah Sukowati dan keterkaitan dengan keberadaan Mojoroto. Ketika membuka manuskrip atau naskah – naskah kuno beraksara Jawa yang ada di keraton dan perpustakaan lokal, ternyata Mojoroto ini menjadi sangat penting dalam rekaman atau catatan sejarah Jawa,” ungkap Dani.
Mojoroto dan Sendang Bejen tak hanya lekat dengan jejak perjuangan sosok Pangeran Sambernyawa. Keberadaannya juga disebutkan menyimpan keterkaitan dengan periode kesejarahan Pangeran Mangkubumi.
“Karenanya, temuan ini menjadi menarik untuk ditelisik lebih jauh. Terlebih, dalam Babad Giyanti, juga kami temukan paling banyak konteks tentang nama Mojoroto. Saya berpikir bahwa Sukowati wilayah utara dan barat adalah basis kekuatan militer pada era Perang Mangkubumen. Tapi ternyata Mojoroto adalah tidak kalah penting dari wilayah Sukowati,” ungkapnya.
Masih berdasar manuskrip Babad Giyanti, menurut Dani, Mojoroto bahkan disebutkan merekam tiga alur periode kesejarahan.
Pertama, tentang peristiwa ketika Pangeran Mangkubumi berusaha memburu dan menumpas pemberontakan Tumenggung Martopuro dan Pangeran Sambernyawa di Sukowati. Kedua, ketika Pangeran Mangkubumi sendiri keluar dari Keraton Kartasura menuju ke Sukowati, Mojoroto adalah tempat tujuan bagi Pangeran Mangkubumi untuk melaksanakan misi perjuangannya. Yang ketiga, Mojoroto juga tak lepas dari peristiwa ketika pecah kongsi antara Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Sambernyawa.
Penelusuran sejarah oleh Solo Societeit juga mendapatkan bahwa Mojoroto adalah berbeda dengan desa lainnya. Mojoroto disebut sebagai jalur komunikasi yang ideal pada masa itu karena menjadi wilayah penghubung antara sisi barat dengan sisi selatan Gunung Lawu, dimana laskar Pangeran Sambernyawa dan Pangeran Mangkubumi sering mengadakan mobilisasi dalam melakukan pergerakan.
Disebutkan pula dalam Babad Giyanti, bahwa cakupan luas wilayah tanah Sukowati masa lalu, tak hanya sebatas luas Kabupaten Sragen sekarang. Cakupan luas wilayah Sukowati ke daerah bagian selatan adalah sampai ke Desa Palur. Bahkan, Kabupaten Karanganyar dahulunya pun merupakan wilayah Sukowati.
Dijelaskannya, Pangeran Mangkubumi menuju Mojoroto dan mendirikan pesanggrahan. Kesimpulan penelusuran jejak kesejarahan yang ia dapatkan bahwa sebelum era Pangeran Sambernyawa, Pangeran Mangkubumi terlebih dahulu mendirikan basis militer di Mojoroto untuk memburu Tumenggung Martopuro dan Pangeran Sambernyawa yang kala itu lebih awal melakukan pemberontakan sebelum Pangeran Mangkubumi.
“Ada satu catatan penting dalam konteks bahwa Mojoroto adalah desa wisata berbasis religi dan sejarah memang sangat tepat. Karena di Mojoroto dua tokoh superior Tanah Jawa, yaitu Pangeran Sambernyawa dan Pangeran Mangkubumi sama – sama mengalami pengalaman spiritual yang sangat hebat. Pangeran Mangkubumi membuat pesanggrahan dan berdiam di sini, kemudian merasakan sebuah ketenangan. Begitu juga dengan Pangeran Sambernyawa,” terang Dani.
Catatan penting lainnya ditemukan dalam Babad Panambangan yang juga menyinggung mengenai jejak perjuangan Pangeran Sambernyawa di Mojoroto sebelum mendirikan Praja Mangkunegaran.
Dalam manuskrip kuno tersebut, juga termaktub bahwa Pangeran Sambernyawa melakukan meditasi dan laku prihatin di Sendang Bejen bahkan membangun sebuah pesanggrahan hingga mengolah kemampuan para prajuritnya dengan berlatih jemparingan atau memanah.
“Maka, bukan tidak mungkin apabila jemparingan bisa dihadirkan kembali dan menjadi aset bagi Desa Mojoroto kelak. Karena secara kesejarahan ada fakta bahwa dulu tempat ini juga dipakai untuk latihan memanah oleh para laskar Pangeran Sambernyawa pada masanya,” kata Dani.
Dijelaskan lebih lanjut, termuat dalam catatan arsip Belanda, ditemukan juga sebuah keunikan bahwa untuk mengobarkan semangat tempur para prajuritnya, Pangeran Sambernyawa selalu membawa dan menabuh gamelan carabalen setiap kali mennyambut musuh di medan perang.
“Ketika dalam suasana damai, Pangeran Sambernyawa adalah seorang yang mahir dalam bahasa Arab. Bahkan pada masa itu, beliau juga mampu menyalin dan menerjemahkan Al Quran. Maka, ketika kita bicara tentang konteks Pangeran Sambernyawa, jangan hanya berpikir bahwa beliau adalah hanya seorang ahli perang, tetapi beliau juga seorang sosok Muslim yang sangat taat. Inilah satu sisi religius dari Pangeran Sambernyawa yang sering terlupakan,” terangnya.
Temuan penting lainnya terkait Mojoroto adalah mengenai konteks penetapan jumlah anggota pasukan inti atau pasukan khusus Pangeran Sambernyawa semasa awal perjuangannya.
“Sampai sekarang, di Puro Mangkunegaran angka 40 menjadi angka yang sakral. Bukan berarti klenik, melainkan ini adalah suatu strategi, dimana anggota resimen atau pasukan khusus Pangeran Sambernyawa adalah selalu tak kurang dari 40 orang. Penetapan jumlah pasukan ni diadopsi secara filisofis dari Macapat. Ini yang kemudian diaplikasikan oleh Pangeran Sambernyawa ke dalam dunia militer dan terbukti tangguh,” jelasnya.
Salah satu aspek nilai lebih lagi dari pasukan terlatih Pangeran Sambernyawa, adalah kekuatan barisan prajurit wanita (prajurit estri) yang jumlahnya juga tidak lebih dari 40 orang. Pasukan ini layaknya pasukan khusus yang juga mampu melakukan berbagai tugas-tugas rahasia. Konteks penetapan jumlah prajurit ini, ungkap Dani, ditemukan pula di Mojoroto.
“Dari penelusuran sejarah yang kami lakukan, penetapan jumlah anggota pasukan khusus dari Pangeran Sambernyawa yaitu sebanyak 40 orang, ternyata justru ada di Mojoroto. Saya berpikir, bahwa kemungkinan setelah Pangeran Sambernyawa melakukan gerilya ke Nglaroh, Wonogiri barulah beliau menetapkan penyebutan nama – nama dari 40 orang pasukan khusus tersebut, yang semua diawali dengan nama gelar Joyo, seperti Joyo Liyangan, Joyo Wilatan dan banyak lagi,” paparnya.
Ciri khusus petilasan Pangeran Sambernyawa kebanyakan memang tak selalu jauh dari keberadaan mata air dan sendang. Seperti halnya Sendang Bejen di Kabupaten Karanganyar. Pun demikian dengan petilasan Pangeran Sambernyawa yang ditemukan di beberapa tempat di Kabupaten Wonogiri seperti Sendang Siwani, Sendang Lanang, Umbul Naga dan Sendang Sigedang.
Menurut Dani, di samping aspek kepercayaan orang Jawa terhadap sarana kekuatan spiritual adi kodrati, keberadaan sumber air yang mencukupi adalah menjadi penting, dimana kebutuhan untuk minum dan sebagainya dapat terjamin dengan keberadaan mata air dan sendang.
“Keberadaan Sendang Bejen ini adalah bukti nyata sejarah secara fisik untuk anak cucu. Karenanya kesadaran untuk merawat keberadaan situs perlu dijaga dan dilestarikan bersama untuk menguak sejarah,” ( lg / Bre )