FOKUS JATENG-BOYOLALI-Berbagai uborampe, terdiri dua gunungan hasil bumi, lauk pauk, palawija, hingga ayam ingkung tertata memenuhi pelataran Makam Dukuh Wonosegoro, Desa/Kecamatan Cepogo, serta semerbak aroma dupa disajikan untuk mengawali prosesi ruwat rawat prasasti Sarunga atau batu tulis wonosegoro, pada Rabu 25 Mei 2022.
Menurut Ketua Boyolali Heritage Society (BHS) Kusworo Rahadiyan, adanya prasasti tersebut menunjukan tingginya peradaban manusia di kawasan Lereng Merapi-Merbabu pada waktu itu. Pada tahun 901 masehi masyarakat sudah mengenal budaya tulis. Temuan ini juga didukung temuan ratusan jejak berupa obyek tinggalan arkeologi. Baik berbentuk struktur, situs maupun benda lepas. Peninggalan tersebut tersebar secara merata hampir di tiap Kecamatan di Boyolali.
“Pendataan oleh BHS, ada sebanyak 413 obyek tinggalan arkeologi yang tersebar di 16 kecamatan. Berupa 73 situs, 396 benda, 14 bangunan dan 12 struktur. Prasasti Sarungga ini menjadi penanda peradaban tertua di lereng timur Merapi,” kata Kusworo.
Adapun prasasti Sarungga ini, Kuworo mengungkapkan pihaknya telah menggandeng mahasiswa arkeologi UGM untuk membantu alih aksara pada batu yanga ada di ladang milik warga Dusun Wonosegoro, Cepogo, bernama Sarwi.
“Penelitian tersebut juga dijelaskan bahwa ditulis menggunakan aksara Jawa Kuno. Ada empat baris tulisan, sayangnya bait terakhir sudah tidak bisa dibaca,” papar budayawan Boyolali itu.
Prasasti tersebut bertuliskan, swa sti śa ka wa rṣā tī ta 8 2 3 jye ṣṭa ma sa pa ñca mi śu kla ha wa so kā la ni ki pa ta pā n ri śa rū ṅga nā mā… Yang diterjemahkan “Selamat tahun Śaka yang telah lalu 823 pada bulan Jyesta tanggal 5 bagian bulan terang. Haryang (hari bersiklus 6), Wagai (hari bersiklus lima), Soma (hari bersiklus tujuh atau Senin), pada saat ini (terdapat) pertapaan di Śarūṅga (yang) hendaklah dinamai …..”.
Kusworo menegaskan, berdasarkan penelitan tersebut juga telah dilakukan konversi penanggalan dari Saka ke Masehi. Sesuai penulisan tersebut disebut pada tanggal 25 bulan Mei tahun 901 masehi. jika ditarik ke tahun sekarang sudah 1.121 tahun silam.
“Aksara itu menunjukan bahwa masyarakat lereng timur Merapi- Merbabu Boyolali sudah memiliki peradaban yang luhur yang sudah mengenal budaya menulis,” ujarnya.
Dengan diselenggarakannya rangkaian kegiatan ruwat rawat tersebut pihaknya berharap bisa menambah antusias masyarakat untuk ikut menguri-uri peninggalan.
“Kami berharap bisa memberikan pemahaman kepada masyarakat luas akan kekayaan budaya lokal masyarakat lereng timur Merapi-Merbabu Boyolali yang selalu menjaga keselarasan hubungan antara manusia, alam, dan budayanya,” imbuh Kusworo.
Sementara, Camat Cepogo, Waluyo Jati menambahkan kegiatan ruwat rawat ini digelar secara swadaya dan baru kali ini bisa dilaksanakan. Pihaknya berharap tradisi nguri-uri budaya ini bisa dilaksanakan rutin setiap tahun.
“Kami sangat mendukung kegiatan ruwat rawat ini, karena hal ini tak lepas dari sejarah asal-usul Boyolali,” kata Waluyo Jati.