Pesona Pahat Patung Urut Sewu

Sriyanto pemilik industri pengrajin patung Buddha di Dusun Kali Dadap, Desa Urut sewu, menunjukan beberapa patung buatannya. (Yull/Fokusjateng.com)

FOKUS JATENG-BOYOLALI- Nusantara dalam perjalanan sejarahnya memiliki banyak kerajaan. Di Pulau Jawa sejumlah bahkan menjadi daerah sentra pematung sebagai penanda bekas daerah kerajaan salah satunya di Kabupaten Boyolali.

Di Desa Urut Sewu, Kecamatan Ampel misalnya, jauh sebelum pandemi COVID 19, terdapat pematung atau perajin patung yang menggantungkan hidup dari mengolah batu Andesit utuh menjadi bentuk Buddha.

“Menurut sejarahnya, desa kami ini dulu adalah Hindu-Buddha. Dalam perkembangannya, perlahan ada sebagian warga memeluk Islam. Meski demikian, Islam di desa kami rata-rata Islam kultural alias Islam yang tetap menghargai akar tradisinya dan teloransi dengan umat agama lain,” kata Kepala Desa Urut Sewu, Sri Haryanto.

Masa kejayaan perajin patung mulai terlihat mulai sekitar 1990-an. Stok patung produksi desa ini selalu terjual. Karya yang banyak diminati patung Buddha. Ada juga patung Dewi Sri, Dewi Shinta, Ganesha hingga Dewi Kwan im. Pasarnya tidak hanya memenuhi permintaan dalam negeri tapi hingga mancanegara.

“Kalau membuat replika candi ini hampir seluruh Indonesia, Sumatera, Sorong Papua, Kalimantan, Jawa sudah pernah. Lalu pernah kirim delapan stupa ke Amerika. Batu-batu sudah dinomori, jadi tinggal pasang. Tapi kondisi sekarang ini membuat pematung dituntut kreatif mencari peluang pasar yang baru,” kata Sriyanto pemilik industri pengrajin patung Buddha di Dusun Kali Dadap, Desa Urut sewu.

Kendati yang pahat adalah patung dewa, namun Sriyanto mengaku tak bersikap eksklusif dan membeda-bedakan para karyawannya karena agama. Pria satu anak ini justru ingin menunjukkan bahwa semua warga bisa menjadi pengrajin patung Buddha tanpa tersekat agama.

“Karyawan saya ada 12 orang. Sebagian pematung Buddha adalah warga muslim. Pengrajin yang beragama Buddha hanya tiga orang,” jelasnya.

Para pematung urut sewu kini mulai terbuka dengan garapan patung yang tak disakralkan. Kalau dulu memahat patung untuk sesembahan dan pembeli internasional, sekarang pematung mulai membidik pembeli lokal di tingkat Jawa Tengah. Mereka bekerjasama dengan desainer interior atau taman. Perajin patung pun kini tak segan menggarap relief taman atau interior rumah.

“Dulu sempat kirim sampai ke Amerika. Dampak PPKM kemarin, kami kesulitan melakukan pemahatan di urut sewu, karena ngga mungkin bisa mengangkut bahan baku. Jadi kami lakukan pemahatan tak jauh dari keberadaan bahan baku tersebut salah satunya di Magelang,” papar Sriyanto.

Sedangkan untuk memahat satu patung, kata Sriyanto waktunya bisa dua sampai delapan bulan, tergantung tingkat kesulitan dan ukuran.

“Seperti patung Buddha paling sulit itu membuat ekspresi wajahnya yang sangat teduh itu,” katanya.

Sedangkan harga sebuah patung, bisa di harga mulai dari Rp 250ribu hingga Rp 150 juta lebih.

Disisi lain, Kepala Desa Urut Sewu mengatakan keragaman inilah yang layak diapreasi. Harmoni yang ada sejak ratusan tahun silam ini sebagai potensi desa luar biasa. “Frame kami ialah kebudayaan. Warga kami beragama, tapi tetap berbudaya dan tak mau meninggalkan akar kebudayaannya,” pungkasnya.