FOKUS JATENG-BOYOLALI-Menyambut datangnya 1 Suro 1956 Ehe (kalender jawa) dan 1 Muharram 1444 Hijriyah ribuan warga kawasan lereng Merapi menggelar tradisi sedekah gunung larung Kepala kerbau, pada Jumat 29 Juli 2022 besok malam.
Larung kepala kerbau tak lepas dari cerita Kyai Petruk, atau Raden Handoko Kusuma yang dipercaya sebagai pengayom warga kawasan lereng Merapi.
“Istilah Petruk, menurut warga setempat, karena Handoko Kusuma mempunyai tubuh tinggi dan hidung yang panjang,” kata Bagyo tokoh masyarakat Desa Lencoh.
Kyai Petruk merupakan putra Pengageng Kapaniwon Cepogo. Pada masa mudanya kyai Petruk senang lelaku dan bersemedi, selain sakti kyai Petruk dikenal sangat bijaksana. Sehingga masyarakat Selo dan sekitarnya, menganggap Kyai Petruk sebagai seorang pengayom, hingga Dia muksa di Lereng Merapi.
“Maka dipercaya disetiap malam 1 Sura, digelar sedekah gunung,” katanya.
Tidak hanya kepala kerbau, namun ada perlengkapan lain, seperti, tumpeng sesaji dari nasi jagung, brubus dibuat dari batang lumbu, bothok sempura. Juga palawija komplit diantaranya singkong bakar, ketela bakar, minuman kopi dan rokok klobot.
Semua itu merupakan sarana persembahan untuk memohon kepada yang Maha Kuasa agar masyarakat diberi keselamatan hidup dan mendapat limpahan kesejahteraan.
Ritual sedekah gunung merupakan peninggalan nenek moyang yang turun temurun berkembang sampai sekarang. Sebelum masuk pada puncak acara pada malam hari, prosesi dimulai sejak Jumat pagi dengan kirab budaya dengan mengarak mahesa (kerbau) yang akan dilarung di kawah Gunung Merapi. Diikuti seluruh masyarakat dari 10 dukuh di Desa Lencoh, kerbau diarak dari Dukuh Tritis sampai ke Joglo Mandala I Desa Lencoh.
“Tahun ini, taman nasional hanya mengizinkan 10 orang saja yang menandu kepala kerbau,” kata Bagyo.
Pada sore harinya, di kawasan Joglo Mandala 1 digelar pentas reog dilanjutkan dengan gambyong. Kemudian pada malam harinya, kepala kerbau dan perlengkapan lainnya sudah berada Joglo 1 Lencoh untuk didoakan. Prosesi upacara tradisional labuhan kepala kerbau sendiri diawali dengan menyediakan satu kepala kerbau yang dibalut dengan kain mori, dan sesaji tumpeng gunung dari nasi jagung yang dibuat dengan bentuk menyerupai gunung atau berupa gunungan, yang diarak keliling kampung oleh puluhan warga dengan menggunakan pakaian adat jawa menuju Joglo Merapi.
Rombongan warga pembawa kepala kerbau dan sesaji dengan cara ditandu tersebut diawali dengan barisan obor kemudian diikuti puluhan orang di belakangnya menuju tempat upacara untuk melakukan doa bersama memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk diberikan perlindungan dan kesejahterangan selama hidup di lereng Merapi atau kawasan gunung yang teraktif di dunia itu.
“Kepala kerbau sebagai sesaji setelah dilakukan doa bersama kemudian dibawa dengan cara dipikul oleh sejumlah warga menuju ke puncak Merapi saat tepat tengah malam,” pungkasnya.(*)