Memperpanjang Usia Naskah Kuno, Membacai dan Merawat

Malam 1 Sura di Pura Mangkunegaran, Rabu malam (20/9/2017). (/Fokusjateng.com)

FOKUSJATENG – Memasuki area Puro Mangkunegaran, Gending Jawa dari tabuhan gamelan sayup terdengar dari pendopo. Tabuhan-demi tabuhan membentuk irama yang mengiringi tiga penari yang sedang berlatih.

Berbelok ke sebelah kanan tepatnya timur pendopo akan ditemui gedung berlantai dua. Bisa kita lihat sebuah papan yang tergantung dipintu bertuliskan ‘Perpustakaan’ yang diikuti tulisan aksara Jawa.

Memasuki bangunan itu kita akan dihadapkan pada tangga kayu berwarna cokelat. Sesampainya di lantai 2 aroma klasik dengan sajian berbagai macam buku dan kertas cokelat berjajar akan menyenangkan sepanjang mata memandang.

Di sinilah area perpustakaan di Puro Mangkunegaraan berada. Lebih dikenal dengan perpustakaan Reksa Pustoko.

Rekso yang berarti penjagaan dan pemeliharaan. Sedangkan Pustoko diartikan tulisan, surat-surat dan buku. Pengunjung akan dimanjakan dengan suasana klasik serta buku, arsip maupun naskah-naskah kuno yang berjajar rapi.

Tidak hanya menyimpan arsip mengenai Mangkunegaran saja, kita bisa menemukan berbagai buku filosofis karangan para pujangga Jawa zaman dahulu. Rata-rata koleksi yang ada di sini terbitan tahun 1800-an.

Namun, sangat disayangkan ketika manuskrip, arsip dan foto kuno justru terkesan kurang perawatan.

Semakin memasuki lorong penyimpanan buku dan arsip maka kita akan menemukan buku-buku yang sampulnya mulai terlepas. Tak terbayang mahakarya ratusan tahun ini harus rela dimakan ngengat dan berteman debu.

Jajaran buku Rijksblad Mangkunegaran tahun 1918-1939 diruang penyimpanan arsip contohnya. Ketika buku bersampul biru yang memudar ditumpuk debu itu dibuka memunculkan serbuk halus dari buku yang berlubang bekas dimakan ngengat.

Tak terhitung pula ratusan koleksi yang harus rela luruh dimakan usia, debu dan menjadi santapan ngengat.

Perpustakaan yang berdiri sejak tahun 1867 awalnya berfungsi sebagai tempat penyimpanan koleksi. Baru di tahun 1877 dialihkan menjadi perpustakaan keluarga Keraton.

Perpustakaan Rekso Pustoko dibuka untuk umum baru sekitar tahun 1976. Pada masa KGPAA Mangkunegoro IV yang merupakan seorang pujangga merasa perlu untuk membagi pengetahuan kepada masyarakat.

Awalnya Rekso Pustoko berada di lantai satu. Namun banjir yang melanda Solo pada tahun 1966 menyebabkan banyak koleksi yang rusak bercampur lumpur. Hal ini menyebabkan banyak koleksi Rekso Pustoko yang harus rusak dan di buang. Karenanya Rekso Pustoko kemudian dialihkan ke lantai dua.

Perawatan arsip dan naskah kuno ini dilakukan dengan fumigasi. Metode perawatan dengan membunuh biota dan serangga pemakan kertas seperti ngengat. Fumigasi biasanya dilakukan setahun sekali untuk satu ruang Rekso Pustoko. Padahal idealnya penyemprotan Fumigasi dilakukan satu tahun dua kali.

Selain itu untuk menjaga ketahanan kertas agar tidak dimakan ngengat bisa dilakukan dengan melakukan enkapsulasi dan alih media. Biaya enkapsulasi sendiri cukup besar. Satu lembar enkapsulasi dihargai sebesar 20 ribu rupiah.

Dalam sebulan ekapsulasi bisa dilakukan pada 1.000 lembar manuskrip sehingga biayanya sekitar 20 juta. Karena bahan yang cukup mahal serta tenaga yang harus profesional maka prosesnya harus hati-hati dan cukup menguras waktu.

Proses alih media menjadi alternatif lain yang dilakukan Rekso Pustoko. Yaitu dengan digitalisasi. Caranya dengan memindahkan tulisan dengan difoto lalu dibukukan dalam bentuk baru. Bentuknya bisa dibuat berupa lembaran kertas baru dan juga digital, dengan satu muka dihargai 10 ribu rupiah. Sedangkan fisik asli akan disimpan agar tidak bertambah rusak.

Perawatan harian dilakukan pihak perpustakaan menggunakan kapur barus dan rajin membersihkannya dari debu. Dalam satu ruang bisa menghabiskan sekitar 4 kilogram kapur barus. Sedangkan dalam usaha menjaga buku dalam kondisi yang baik harus berada di potensial Hidrogen (PH) Netral.

Perawatan arsip dan naskah kuno diharapkan bisa memperpanjang khasanah masyarakat. Selain itu, diharapkan, perawatan naskah juga didukung dengan memanfaatkan informasi yang ada di Rekso Pustoko.

Peninggalan-peninggalan di perpustakaan kuno merupakan sumber pengetahuan yang diperuntukan generasi setelahnya. Dengan rasa memiliki itu diharapkan masyarakat turut menjaga keberadaannya.

Budaya membaca arsip dan buku kuno menjadi penting untuk membuka mata generasi baru, bahwa sejarah dahulu yang membawa kita menjadi seperti saat ini.(Penulis : Sholiqul Amri, Peserta LK III Badan Kordinasi HMI Jambi).***