FOKUS JATENG-BOYOLALI-Untuk pertama kali, kirab tumpeng Agung bakal di gelar di kawasan Umbul Tlatar, Desa Kebonbimo, Kecamatan Boyolali Kota, pada Sabtu 17 September mendatang. Tidak tanggung-tanggung, tradisi ini digelar serentak di dua desa, yakni Desa Desa Pager, Kecamatan Kaliwungu, Semarang.
“Itu dikarenakan, air dari umbul Tlatar itu selain dimanfaatkan warga Desa Kebonbimo juga warga Desa Pager yang letaknya bersebelahan,” ujar Sekdes Kebonbimo, Lyan Astamara, Rabu 14 September 2022.
Menurut Sekdes, tradisi diawali dengan kegiatan bersih- bersih saluran air hingga Umbul Tlatar. Setelah itu dilakukan kirab tumpeng terdiri dari dua tumpeng besar dan 23 tumpeng kecil. Tumpeng besar terdiri tumpeng Agung dan tumpeng hasil bumi.
Untuk tumpeng kecil berasal dari 23 Rt se Desa Kebonbimo. Tumpeng juga akan dinilai dan dipilih yang terbaik. Namun, nilai tumpeng tak boleh melebihi Rp250.000 dan desa memberi stimulan Rp100.000.
Tidak hanya kirab, pada kesempatan itu juga digelar kesenian tradisional reog dan pada malam harimya dilanjutkan pagelaran wayang kulit semalam suntuk.
Ia menambahkan, keberadaan Umbul Tlatar tak bisa dilepaskan dari Legenda Ki Ageng Wonotoro yang memimpin Desa Sambi. Kondisi desa kekurangan air membuat Ki Ageng prihatin.
Untuk mendapatkan sumber air, Ki Ageng Wonotoro melakukan semedi mohon petunjuk Tuhan Yang Maha Kuasa. Dari petunjuk yang ada, Ki Ageng Wonotoro supaya pergi ke Pantaran menemui Ki Ageng Pantaran. Singkat cerita Ki Ageng Wonotoro memerintahkan seorang cantriknya untuk menemui Ki Ageng Pantaran untuk meminta sumber air. Cantrik itu lalu diberi sebuah kendi berisi air dan dikawal oleh 4 jin yang masing-masing bernama Pule, Randu Alas, Jangkang dan Asem Gede.
“Juga disertai pesan bahwa selama perjalanan pulang ke Sambi jangan sekali-kali menoleh ke belakang.”
Namun dalam perjalanannya sesampai di Desa Tlatar terjadi angin ribut dan halilintar. Karena takut, cantrik tersebut menoleh kebelakang hingga kendi yang dibawanya jatuh, bersamaan dengan jatuhnya kendi suara gemuruh tersebut hilang.
Ditempat kendi jatuh ternyata keluar air yang meluap-luap, sedang air yang tercecer di jalan-jalan keluar umbul kecil. Sesampai di Desa Sambi cantrik langsung menghadap Ki Ageng Wonotoro dan menceriterakan semua kejadian yang dialami.
Ki Ageng menyimpulkan bahwa permohonan untuk mendapatkan sumber air belum terkabul. Dia lalu menyuruh cantrik menuju ketempat kendi jatuh. Disitu cantrik melihat umbul yang airnya meluap-luap.
“Dan sekitar umbul ada 4 pohon besar yaitu pohon randu alas, pule, asem gede dan jangkang yang merupakan jilmaan dari 4 jim yang mengawal,”ujarnya.
Hingga kemudian, tempat kendi jatuh dinamakan umbul mubal, yang sekarang ini disebut umbul Tlatar. Umbul Tlatar kini menjadi tempat wisata yang ramai. Tempat air tercecer dinamakan umbul Recah yang sekarang disebut Desa Rancah. Tempat suara prahara dinamakan Udan Nuwuh.
Disuatu tempat yang ada sumber air, cantrik itu beristirahat dan menetapkan hati dengan keyakinan bahwa sebagai abdi dalem (makna abdi = hamba = rewang = pembantu, dalem = saya = sendiko = iya/selalu mengiyakan) memang harus selalu siap dan menerima kenyataan bahwa tak mungkin/mustahil melebihi/ mengalahkan bendhoro. Sumber air tempat beristirahat dan merenung itu saat ini dikenal dengan nama umbul Sedalem dari kata abdi dalem. (*)