Meriah, Perayaan Penutupan Warisan Budaya Takbenda 2022

Sajian kesenian nini tlawong ikut memeriahkan perayaan penutupan Warisan Budaya Takbenda 2022. (Dhiyaulhaq Hibatullah/Fokusjateng.com)

FOKUS JATENG-JOGYAKARTA- Sejak 2017 lalu, Warisan Budaya Tak Benda merupakan pertunjukan seni budaya tak benda selalu rutin digelar setiap tahunnya. Baru-baru ini dengan didanai oleh Dinas Kebudayaan Yogyakarta, pertunjukan seni budaya takbenda itu sukses digelar di Teras 2 Malioboro, DIY, pada Selasa 27 September 2022 hingga Jumat 28 Oktober 2022 .
Sebanyak 134 Warisan Budaya Tak Benda dari tahun 2017 hingga 2021 ikut memeriahkan acara tersebut. Bahkan perayaan ini juga ditayangkan di kanal Youtube Best of jogja secara live.
Berikut pantauan yang dilakukan Dhiyaulhaq Hibatullah, dari ISI Surakarta Film dan Televisi.
Setelah menyanyikan Indonesia Raya bersama-sama, dan dilanjutkan sambutan Kepala Bidang Pemeliharaan dan Pengembangan Warisan Budaya, sekaligus penyelenggara event Ruri Widayati.
Mengawali pentas seni, para penikmat seni disuguhkan lima pertunjukan seni budaya tak benda ; Tarian Badui dari Sleman, Nini Thowong dari Bantul, Krumpyung dari Kulonprogo, Tarian Tayub dari Gunungkidul, dan Wayang Cina Jawa (Wacinwa) karya Ki Ajeng Kiswantoro.
Tampil sebagai pembuka pada acara Penutupan Warisan Budaya Tak benda ini adalah Tarian Badui. Informasi yang terhimpun tari Badui adalah tari rakyat yang menggambarkan adegan latihan peperangan atau segerombolan prajurit yang sedang melakukan latihan perang. Tari ini secara koreografi sebenarnya masuk kategori tari berpasangan. Komposisi yang digunakan berbentuk barisan. Bisa dalam bentuk dua barisan atau dalam bentuk melingkar berhadapan. Secara fungsional, kesenian ini digunakan sebagai media dakwah agama Islam. Namun perkembangan saat ini sudah digunakan sebagai sarana hiburan atau tontonan.
Selanjutnya, kembali pengunjung dibuat terkesima, saat sajian kesenian Nini Thowong dimainkan. Dikisahkan bahwa seni ini sudah ada sejak zaman Mataram. Kisah kesenian ini dimulai dengan cerita Senopati yang meminta minuman dari anak-anak yang sedang bermain dengan boneka perempuan. Anak-anak itu kemudian tidak memberikan air kepadanya, lalu Senopati pergi ke sungai. Boneka itu kemudian mengikuti Senopati hingga akhirnya ia mereka menghilang dari pandangan anak-anak itu. Pertunjukan ini didampingi oleh tarian dan music pengiring untuk menambah hiburan bagi masyarakat penonton.
Kesenian berikutnya yaitu Krumpyung, sebuah kesenian dari Kulonprogo. Krumpyung pada acara ini dibawakan oleh Krumpyung Sekar Serabut, sebuah grup musik tradisional dari Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Grup musik ini memainkan alat musik tradisional khas Kulonprogo berupa seperangkat gamelan yang terbuat dari bambu dan diberi nama Krumpyung. Konon, alat musik ini lahir dari tangisan seorang tunanetra bernama Witra yang merengek kepada bapaknya untuk dibuatkan seperangkat gamelan. Dengan segala keterbatasannya, bapak Witra berhasil membuat seperangkat gamelan yang terbuat dari bambu. Alat musik tersebut mampu menjadi salah satu hiburan masyarakat sekitar. Mereka memainkannya selayaknya gamelan logam. Ketika dimainkan, Krumpyung menghasilkan suara yang gemuruh atau Kemrumpyung. Maka kemudian instrument ini dinamakan Krumpyung. Pada perkembangannya musik ini dimainkan untuk mendampingi tarian, ketoprak, wayang, dan campursari di berbagai event bahkan pernah dimainkan di negara-negara Eropa.
Setelah hanyut dalam seni krumpyung, sekali lagi para penikmat seni dibawa pada suasana yang menyenangkan, ketika di tampilkannya Tarian Tayub dari Gunungkidul. Tarian ini merupakan tarian romantic, di mana para penari menggoda dan mengajak beberapa penonton yang ia datangi untuk menari bersamanya. Tarian ini berhasil membuat penonton gembira, terutama para penonton yang diajak menari bersama para penari Tayub itu.
Pertunjukan yang menjadi penutup acara ini adalah Wayang Cina Jawa (Wacinwa). Wayang ini adalah campuran dari kebudayaan Cina dan Jawa yang diperagakan oleh dalang professional Ki Ajeng Kiswantoro. Kebudayaan ini ditemukan pada tahun 1925 di Yogyakarta. Pertunjukan ini merupakan perpaduan serasi dua aspek seni dari latar belakang yang berbeda, yaitu oriental dan original. Dua aspek itu yakni kesenian wayang Jawa dan cerita-cerita legenda Cina. Dari perpaduan dua aspek tersebut, muncullah sebuah pertunjukan Wacinwa yang mengacu pada Tradisi Yogyakarta pada umumnya. (ist)