FOKUSJATENG.COM – Direktorat Informasi dan Komunikasi Politik, Hukum, dan Keamanan, Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, Kementerian Komunikasi dan Informatika, sukses menggelar seminar di gedung FISIP Universitas Sebelas Maret ( UNS ) Surakarta bertemakan Forum Literasi Demokrasi, Demokrasi Damai di Era Digital pada Rabu, 22 Februari 2023.
Kegiatan Forum Literasi Demokrasi diikuti 250 peserta yang berasal dari mahasiswa mengundang tiga narasumber, yakni Dekan FISIP UNS Prof.Dr.Ismi Astuti Nurhaeini,M.Si, Kepala Bidang Politik Dalam Negeri dan Ormas, Kesbangpol Surakarta, Sri Lestari dan Pemred Fokusjateng.com Emmanuel Didik Kartika Putra.
Kegiatan diawali dengan sambutan Rektor Universitas Sebelas Maret (UNS ) Surakarta yang diwakili oleh Wakil Rektor Riset dan Inovasi UNS, Prof.Dr.Kuncoro Diharjo, S.T.,M.T. Dikatakan Prof.Kuncoro melalui kegiatan forum literasi demokrasi ini, pihaknya menekankan akan toleransi memiliki nilai penting, yang perlu diterapkan oleh seluruh kalangan di era digital, pasalnya keragaman multidimensi akan terasa indah jika diiringi sikap saling menghormati perbedaan.
“ Diatas kertas iklim toleransi di Indonesia tercatat baik, meski demikian sejumlah indicator masih membutuhkan akserlasi perbaikan. Salah satunya kecakapan menggunakan teknologi digital.
Masih banyak teman teman kita pengguna internet yang hanya mampu menerima informasi tanpa memiliki kemampuan memahami dan mengelolah informasi tersebut dengan baik.
Sehingga dampaknya adalah banyak diantara mereka terpapar oleh informasi yang tidak benar atau bahkan bisa jadi menyesatkan,” kata Prof Kuncoro.
Sementara itu, Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (IKP) Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, Usman Kansong dalam sambutannya memberikan informasi data bahwa Indeks Demokrasi Indonesia tahun 2022 ada dalam posisi stagnan.
Dimana meraih skor 6,71 pada Indeks Demokrasi Global tahun 2022 dan skor ini sama dengan tahun 2021.
“Karena itu disebut stagnan, walaupun ada juga yang mengatakan bahwa demokrasi kita mengalami kemunduran, banyak buku yang membahas itu,”Kata Usman Kansong.
lanjut Usman Kansong, pengukuran yang dilakukan oleh the Economist Intelligence Unit (EIU), demokrasi Indonesia tergolong demokrasi yang cacat atau belum sempurna (flawed democracy).
Bahkan, di Kawasan Asia Tenggara saja, tahun lalu, Indonesia kalah dari Malaysia, Timor Leste, dan Filipina, meskipun negara-negara sahabat ini masih tergolong demokrasi yang cacat juga.
Oleh karena itu, literasi digital menjadi penting sehingga menjadi tugas kominfo untuk melakukan literasi digital.
“Jadi kita punya nama program literasi digital, ini sebuah langkah di hulu, langkah ini kita sebut preventif edukatif di media sosial. Dimana kominfo mengedukasi masyarakat untuk tidak melakukan disinformasi,” papar Dirjen IKP Kominfo.
Sesuai tema diangkat, pada seminar kali ini para narasumber menjelaskan bagaimana meningkatkan kesadaran tentang pentingnya mewujudkan demokrasi yang damai dan berkualitas bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, serta mendorong untuk bersikap bijaksana menggunakan teknologi informasi dalam peningkatan kualitas demokrasi.
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik ( FISIP ) UNS, Prof.Ismi Astuti mengatakan, demokrasi secara sederhana dapat diartikan sebagai pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.
Prof.Ismi menyebutkan adanya demokrasi tersebut dapat diklasifikasikan kedala empat kategori, dan empat kategori ini tergantung pada seberaps jauh pemerintah kita memenuhi standar-standar yang ditentukan.
“empat kategori itu yang pertama demokrasi penuh, yang kedua kita menyebut demokrasi belum sempurna, ketiga rezim hybird dan ke empat kita sebut rezim otoritarian,”papar Prof.Ismi.
Lanjut Prof.Ismi, dengan adanya era digital maka ada kemudahan akses informasi, maka kita harus pastikan bahwa memiliki literasi didalam menggunakan media yang ada, dan budaya memilik literasi digital hal tersebut menjadi sangat penting.
Berkaitan dengan demokrasi digital, Pemred Fokusjateng.com, E.Didik Kartika, membahas mengenai sudut pandang “Jurnalisme Damai, Menjawab Isu Konflik dan Persepsi Publik”.
Menurut teoretisi dan pendukung utamanya, Jake Lynch dan Annabel McGoldrick, jurnalisme damai terwujud ketika para redaktur dan reporter menetapkan “pilihan-pilihan bersifat damai” tentang berita apa yang akan dilaporkan, dan bagaimana cara melaporkannya.
“ Yang dimaksud dengan “bersifat damai” itu adalah bentuk pemberitaan, yang menciptakan peluang bagi sebagian besar masyarakat, untuk mempertimbangkan dan menghargai tanggapan tanpa-kekerasan terhadap konflik bersangkutan,” papar E.Didik Kartika.
Sementara itu Kepala Bidang Politik Dalam Negeri dan Ormas, Kesbangpol Surakarta, Sri Lestari, menerangkan dengan hadirnya teknologi informasi dan komunikasi seperti platform media sosial harus ditempatkan sebagai fasilitator kebudayaan baru, karena media sosial menjadi kekuatan baru yang sangat di gandrungi generasi Z di indonesia Di bandingkan media konvensional.
” Medsos memiliki potensi yang lebih besar dalam produksi dan persebaran informasi secara lebih cepat,” pungkasnya. ***