Mengenal Tradisi Sadranan Masyarakat Seboto Boyolali

Kembul Bujana : makan bersama, setelah makanan yang dibawa diletakkan didepan untuk didoakan oleh pemuka agama. (yull/Fokusjateng.com)

FOKUS JATENG-BOYOLALI-MaxOne Hotel Loji Kridanggo@Boyolali terus menggali dan berperan serta mempertahankan serta mengembangkan kearifanlokal (local wisdom) baik adat, seni dan budaya. Kali ini, Kamis 9 Maret 2023 mensponsori upacara adat kirab tradisi Nyadran atau Sadranan bertempat di Dukuh Dungus, Desa Seboto Kecamatan Gladagsari Kabupaten Boyolali.
Menurut Kades Seboto, Kamali, ritual nyadran atau sadranan digelar rutin dua kali setahun. Yaitu pada bulan Sapar dan Ruwah pada penanggalan Jawa. Kegiatan ini terus dilestarikan warga hingga sekarang.
“Ini juga bentuk kearifan lokal, warga mendoakan leluhur yang telah meninggal dunia,” katanya.
Terkait dengan makanan dalam tenong, lanjut dia, makanan tersebut dulunya dibawa ke makam untuk disuguhkan tamu yang berasal dari luar daerah. Tujuannya, agar warga luar daerah yang ikut sadranan ini tidak repot mencari makanan usai ritual.
Dijelaskan, sandranan atau nyadran merupakan salah satu tradisi Jawa yang masih lekat dalam kehidupan masyarakat Boyolali. Nyadran konon berasal dari bahasa Sanskerta “Sraddha”yang artinya keyakinan. Nyadran atau Sadranan adalah tradisi yang dilakukan oleh orang jawa yang dilakukan dibulan Sya’ban (Kalender Hijriyah) atau Ruwah (Kalender Jawa) untuk mengucapkan rasa syukur dan medoakan leluhur yang dilakukan secara kolektif dengan mengunjungi makam atau pusara leluhur yang ada di suatu Dukuh, Desa/Kelurahan.
“Nyadran ini mengingatkan, mengenang dan mendoakan leluhur yang telah meninggal dunia, sekaligus mengingatkan diri bahwa semua manusia pada akhirnya akan mengalami kematian, Di samping itu di dalam seluruh kegiatan Sadranan ini juga masih bisa di lihat bagaimana gotong royong melekat erat dalam masyarakat, Tradisi yang harus kita pertahankan dan dilestarikan.”
Untuk kawasan Seboto, lanjut Kamali, upacara adat tradisi Sadranan sendiri diawali dengan besik atau bersih-bersih makam yang dilakukan sehari sebelumnya, biasanya di jalankan oleh para keluarga yang masih hidup. Dilanjutkan Kirab dimana warga berbondong bonding ke kuburan atau makam termasuk warga luar desa atau dukuh yang memiliki orang tua atau keluarga atau kerabat yang di makamkan di dukuh tersebut,
“Tujuannya tidak lain untuk berdoa Bersama terutama memintakan ampunan dan medoakan leluhurnya, Di sesi ini warga setempat juga membawa tenong yang berisi, makanan ringan untuk suguhan para tamu dan tumpeng lengkap dengan lauknya untuk kendurian, yang nantinya dimakan bersama sama setelah semua prosesi selesai,” papar Kamali.
Usai kirab dilanjutkan dengan Wedharan dimana tokoh masyarakat setempat memberikan wejangan atau menuturkan tentang sadranan. Diikuti dengan acara ramah tamah dengan suguhan makanan ringan. Terakhir adalah Kenduri dan kembul bujana “ Setelah masyarakat berkumpul dan membawa kendurinya masing-masing, kemudian makanan yang dibawa diletakkan di depan untuk didoakan oleh pemuka agama setempat untuk mendapatkan berkah kemudian dilakukan makan bersama,” ujarnya.
Dalam perjalanannya terdapat pengembangan-pengembangan dalam prosesi Nyadran yakni dengan memasukkan unsur-unsur budaya, salah satunya yakni dengan menampilkan KirabTadisi Nyadran atau kirab tenong sebagai unsure kebersaman.
“Nyadran ini termasuk sebagai salah satu tradisi menjelang datangnya bulan Suci Ramadhan.” (**)