FOKUS JATENG-BOYOLALI-Menjelang bulan suci Ramadhan Pemkab Boyolali menggelar tradisi padusan. Pembukaan tradisi tersebut diawali dengan siraman yang digelar di Umbul Ngabeyan, Komplek Umbul Tirtomarto, Pengging, Kecamatan Banyudono, pada Selasa 21 Maret 2023. Tradisi ini sudah ada lebih dari seabad sejak kepemerintahan Pakubuwono X pada 1893-1939.
Diawali kirab budaya dari Kantor Kecamatan Banyudono menuju Umbul Ngabeyan. Begitu tiba di Umbul Ngabeyan, peserta kirab disambut dengan tari tradisional Gambyong. Peserta kirab budaya diantaranya, Bupati Boyolali, M. Said Hidayat dan Ketua TP PKK, Desi Adiwarni Hidayat. Kemudian, Ketua Lembaga Dewan Adat (LDA) Keraton Surakarta, GKR Wandansari Koes Moertiyah atau Gusti Moeng, Kapolres Boyolali, AKBP Petrus Parningotan Silalahi. Serta Kepala OPD terkait dan duta seni.
Ritual siraman dilakukan oleh Bupati dan Ketua TP PKK Boyolali terhadap Mas dan Mbak Boyolali. Bupati M Said Hidayat melakukan siraman kepada Mas Boyolali. Sedangkan Desi Adiwarni Hidayat melakukan siraman terhadap MBak Boyolali. Selanjutnya, Mas dan Mbak melakukan ritual mandi di Umbul Ngabeyan.
Menurut Bupati, padusan merupakan tradisi menjelang bulan suci Ramadhan atau bulan puasa. Masyarakat membersihkan diri sebagai persiapan untuk menjalankan puasa selama sebulan penuh. Tradisi ini dilakukan oleh masyarakat Boyolali dan wilayah lainnya.
“Kita harapkan, kita semua bisa terus menjaga naluri budaya kita. Adat-istiadat yang menjadi kekayaan tradisi lokal kita, harus secara bersama kita pertahankan. Sehingga apa yang diajarkan Agama Islam tentang kebersihan batin dan lahir. Dan padusan ini untuk membersihkan badaniyah atau raga kita. Selamat memasuki Bulan Ramadhan,” katanya.
Ketua LDA Keraton Surakarta, Gusti Moeng, mengatakan Umbul Ngabeyan, Banyudono merupakan pemandian raja. Umbul ini dibangun oleh Pakubuwono X pada 1893-1939. Tradisi padusan sudah diawali dari Keraton. Baru, masyarakat luas mengikuti tradisi ini. Tradisi ini mulai digalakan lagi di tiap Pemerintah Daerah (Pemda) untuk mengangkat kembali warisan budaya leluhur.
“Karena dulu kan, Keraton pusat pemerintahannya. Jadi kalau Sinuwun belum padusan, rakyatnya juga belum padusan. Dan ini dikembalikan, program untuk mengangkat kembali budaya yang merupakan satu-satunya yang bisa mempererat persaudaraan di seluruh Indonesia,” terangnya saat ditemui di lokasi.
Gusti Moeng memaknai padusan sebagai simbol penyucian diri. Tidak hanya secara lahiriah namun, juga batiniah. Karena tiap akan memasuki Ramadhan harus menyucikan diri lahir dan batin. Meski dari tradisi padusan, yang divisualkan pembersihan secara lahiriah. Tetapi, pembersihan diri juga mencangkup batiniah. Dia menambahkan jika peradaban Islam telah menyatu dengan budaya Jawa.
“Jadi, seperti itu, puasa dan lainnya. Dalam budaya Jawa itu seperti sesirik terus mau melakukan apa, (misal) mantu (Menikah,red) atau punya gawe (Hajat) apalah, pasti puasa dulu, meminta penyuwunan ke Gusti Allah harus sesuci dulu. Ini sudah pasti, dan padusan sudah pasti di Jawa. Karena memang itu langsung digandengkan dengan apa yang kita lakukan sebagai umat Islam,” katanya. (**)