FOKUS JATENG – SOLO – Solo semakin memantapkan sebagai kota yang nyaman bagi semua pemeluk agama, kepercayaan, etnis dan budaya. Hal itu seiring dengan sikap Pemerintah Kota (Pemkot) Surakarta yang memberikan kesempatan terbuka bagi semua pemeluk keyakinan untuk merayakan hari-hari besar keagamaan dan perayaan budaya.
Hadirnya replika dan ornamen hari besar agama mulai Natal, Imlek, Nyepi dan Ramadan, di kawasan Plaza Balai Kota Surakarta dan sepanjang Jalan Sudirman, menjadi bukti Pemkot Surakarta, memberikan ruang kesetaraan bagi semua pemeluk agama dan keyakinan.
Wali Kota Surakarta, Gibran Rakabuming Raka memberikan sinyal, bahwa Solo merupakan kota yang sangat toleran untuk berbagai agama. Bahkan, Balai Kota bisa digunakan oleh warga yang ingin merayakan hari-hari besar keagamaan. Hal itu dibuktikan dengan berbagai ornamen-ornamen berbagai agama yang dipasang di kawasan Balai Kota Surakarta, saat perayaan hari besar agama.
Menyikapi hal itu, Komunitas Omah Bhinneka Indonesia (Ombhin) membedah nilai-nilai keberagaman dalam kegiatan bertajuk ‘Jagongan Santai: Menggali Nilai-nilai Kearifan Budaya Lokal Tanah Jawa dalam Mendukung Solo Kota Toleransi’ pada Sabtu (1/4/2023) di Perpustakaan Bray. Mahyastoeti, Komplek Masjid Baitul Karim, Jemaat Ahmadiyah Solo, Carangan, Baluwarti, Pasar Kliwon, Solo.
“Keberagaman diperlukan kerja sama untuk membangun impian negara kita. Yang kita butuhkan adalah sikap saling mengasihi. Sikap inilah yang sangat dibutuhkan Komunitas Ombhin,” ujar Pdt. Dr. Jarot Kristianto, M.Si, Ketua Umum Komunitas Omah Bhinneka Indonesia (Ombhin), yang membuka kegiatan tersebut.
Diakuinya, saat ini memang ada nilai-nilai kearifan lokal yang terkubur. Dirinya mencotohkan sikap subasita (sopan santun atau tata karma) yang dimiliki generasi muda saat ini sudah banyak yang hilang. Nilai-nilai kearifan lokal yang luntur atau hilang dari anak muda, tidak sepenuhnya kesalahan anak muda. Sebab bisa jadi, menurut Jarot, hal itu terjadi karena memang tidak ada yang memberitahukan ke mereka.
“Sumber moral nilai-nilai itu bisa datang dari keluarga, agama dan budaya. Melalui sumber-sumber itu, seharusnya yang bisa menjelaskan tentang nilai-nilai kearifan lokal tersebut ke anak muda,” jelas dia.
Pada kesempatan tersebut, Amir (Ketua) Pengurus Wilayah Jemaah Ahmadiyah, Maryoto mengaku senang dengan diskusi yang membahas toleransi. Pihaknya sangat terbuka dengan berbagai kegiatan yang mengarah pada pemahaman toleransi, agar semua agama bisa hidup rukun.
Di sisi lain, Penasihat Komunitas Ombhin, Gress Raja memaparkan, orang yang berbijaksana atau arif merupakan orang yang berhasil memadukan tiga unsur kepribadian manusia, masing-masing, olah raga (diolah menjadi sehat), olah pikir (diolah menjadi pintar) dan olah rasa/jiwa (diolah menjadi bahagia).
“Secara spiritual, bangsa kita adalah bangsa yang punya spiritualitas orangtua, yaitu ngrangkul, ngumpul dan ngopeni, menuju ke sumber Sang Maha Esa,” tandas Gress yang juga penggagas Komunitas Putra Putri Ibu Pertiwi (PPIP) ini.
Dia menambahkan, untuk mengurangi kesenjangan akibat munculnya istilah toleran dan intoleran, Gress menyarankan, agar bisa mengganti dengan istilah ‘Setara atau Kesetaraan’. Sebab pada prinsipnya semua manusia itu setara dan punya hak dari segi hukum, baik untuk dihargai dan diakui.
Sementara itu, Muballigh Ahmadiyah, MLn. Muhaimin Khairul Amin, Mbsy menyampaikan, kegiatan Jagongan Santai merupakan salah satu cara untuk menggali nilai-nilai Pancasila, yang mungkin perlu diingatkan lagi agar terus bisa digunakan dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam membangun sikap toleransi.
Acara Jagongan Santai tersebut, tidak hanya dihadiri komunitas Ombhin, namun juga didukung anak-anak muda dari Peace Generation, PPIP serta anak-anak muda. (Didik Kartika)