Ribetnya Rantai Perdagangan Tembakau di Boyolali

Harga tembakau petani kerap sekali turun. Salah satu faktornya, karena tidak ada jaminan pasar dan rantai perdagangan yang terlalu banyak. (doc/Fokusjateng.com)

FOKUS JATENG-BOYOLALI- Petani tembakau di kawasan lereng Merapi Merbabu mengeluhkan tidak adanya adanya jaminan pasar, selain itu rantai perdagangan dinilai terlalu ribet sehingga berdampak merugikan petani. Padahal sedikitnya ada 60 ribu petani tembakau yang tersebar di wilayah Selo, Gladagsari, sebagian Cepogo dan sekitarnya. Tiap tahunnya, petani bisa menghasilkan 40 ribu ton tembakau kering.
“Petani sebenarnya gak punya jaminan pasar dan kepastian. Dulu memang ada kemitraannya, harga rundingan, sekarang harga hanya ditentukan sepihak oleh perusahaan dan petani hanya bisa pasrah. Seolah kita tidak punya nilai tawar, padahal tembakau Boyolali kualitasnya terbaik dan sudah memiliki hak paten Internasional, tembakau fire cured (DFC),” kata salah satu petani, sekaligus pengepul tembakau di Desa Kembang Kuning Cepogo, Bakat Setiawan, Senin 3 Juli 2023.
Dijelaskan, program kemitraan awalnya memang menjanjikan. Dimana, perusahaan mitra meminjamkan modal tanam, perpaketnya ada lima ribu batang tembakau. Petani akan menerima kredit dari perusahaan Rp 4,7 juta. Dari modal lima ribu batang, petani bisa menghasilkan lima ton daun tembakau basah atau 750 kilogram tembakau kering.
“Kalau tembakau kering laku Rp 40 ribu/kilogram, maka petani bisa dapat Rp 30 juta. Itu dikurangi modal kredit tadi. Lalu, biaya tanam Rp 1,5 ribu/pohon, total ya, habis Rp 7,5 juta untuk biaya tanam. Belum lagi biaya perawatan, pupuk dan lainnya. Pasca panen petani juga masih dihadapkan biaya produksi. Mulai dari penen sampai kirim. Kalau dihitung-hitung tentu ya nipis banget,” keluhnya.
Kondisi tersebut membuat petani mulai enggan untuk tanam tembakau. Padahal, tembakau memang menjadi satu-satunya komoditas tanam. Karena mampu bertahan di musim kemarau. Selain itu, lanjut Bakat, petani tidak bisa langsung menjual ke pengepul perusahaan. Boyolali juga tidak memiliki pabrik penampungan langsung dari perusahaan. Sehingga tembakau dikirimkan ke gudang di Temanggung ataupun di Magelang. Dari petani akan dibeli oleh pedagang keliling yang mengambil langsung ke petani. Setelah itu, baru dijual ke pengepul, lalu ke broker dan baru masuk pabrik.
“Akibatnya nilai jual tembakaunya juga turun. Makanya, kami, petani hanya butuh jaminan pasar dengan harga yang sesuai dengan biaya produksi. Petani berharap pemerintah memberikan jaminan pasar dan kalau bisa langsung bisa menjual ke perusahaan maka harga beli ke petani kan akan naik,” jelasnya.
Biaya tanam dan produksi yang tinggi serta penjualan yang rendah memicu polemik baru. menurut Bakat, kualitas tembakau yang ditanam tidak dirawat maksimal. Salah satunya, batas rendemen gula pada daun tembakau rajang. Biasanya, batas rendemen pada tembakau kering yang ditetapkan perusahaan hanya 5 persen. Ataupun masih ditolerir jika berkisar 15-20 persen. Hanya saja, dengan harga jual rendah, maka petani akan merugi. Alhasil, petani menambahkan gula hingga rendemen mencapai 20-25 persen.
“Gula itu kan bisa nambah berat tembakau kering. Tapi tidak terpikir batas tolerirnya, sehingga kualitas jadi turun. Makanya, kami minta ada solusi untuk jaminan pasarnya.”
Terpisah, Sekretaris Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Boyolali, Wiyarto mengatakan Kurangnya curah hujan, berdampak tanaman tembakau tidak bisa tumbuh tinggi dan subur, sehingga musim panen ini produksi tembakau secara umum diprediksi menurun. Sedangkan harga tembakau tahun lalu hanya Rp 65 ribu/kilogram.
“Itupun jika dijual lewat kemitraan. Sedangkan penjualan lokal tertinggi hanya Rp 55 ribu/kilogram. Harga tersebut dinilai belum terlalu bagus. Sehingga belum memberikan keuntungan bagi petani. Karena modal tanam dan produksi sudah tinggi,” pungkasnya. (**)