Fokus Jateng-BOYOLALI-Keris selalu identik dengan suasana mistis dimanapun keberadaannya, demikian halnya saat di pamerkan di museum R Hamong Wardoyo Boyolali, pada Rabu 13 Desember 2023.
Puluhan keris dari berbagai dapur seperti Sempana, Kidang Mas, Panji Sekar, Jurudeh, Paniwen hingga Panimbal dipajang di ruang pameran. Sebagian keris itu diantaranya, ada yang berusia ratusan tahun dan merupakan peninggalan zaman Majapahit hingga Kasunanan Surakarta. Ada juga keris Kamardikan yang dibuat pasca Kemerdekaan Indonesia.
“Keris memang sering di identikkan dengan berbagai ritual jawa, seperti ritual jamasan yang terkenal dengan suasana mistis,” kata Yoseph Saptono salah satu peserta pameran asal Ampel Boyolali.
Dia menjelaskan, ada dua pokok keris. Pertama, ditinjau dari eksoteris atau keindahannya. Kedua, dari isoteris yang kerap dikaitkan dengan mistis. Sehingga dia memang lebih pada perawatan isoteris. Di sisi lain, dia juga melihat pamor pada keris yang merupakan gambaran dari filosofi keris itu sendiri. Pemilik keris-pun harus memiliki do’a yang diwujudkan dalam pamor itu.
Pada kesempatan itu, Yoseph juga menunjukkan alah satu koleksinya, yakni keris tangguh dengan selut robyong. Keris pipih dengan bentuk yang tidak terlalu lebar ini diperkirakan berusian 700 tahun. Karena merupakan peninggalan masa Majapahit atau abad 14 Masehi.
“Keris Tangguh dengan pamor tilamsari pamor ceprit, perabotnya ini warongko gayaman Surakarta. Perkiraannya memang dari masa 1.300-an masehi. Ditarik ke sini usianya sudah 700 tahun lebih. Saya memang suka blusukan ke piyayi (Masyarakat) desa. Justru koleksi saya dari orang-orang desa yang dulu diwariskan, tapi tidak bisa merawat. Akhirnya saya merawatnya,” terangnya.
Senada, kolektor sekaligus perajin keris asal Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kuntadi Wasi Darmojo menunjukan salah satu keris peninggalan masa Majapahit. Keris dari Tuban yang merupakan tanah kamardikan Kerajaan Majapahit itu memiliki ciri khas pipih tanpa motif kelok. Keris itu biasa disebut jenis karya keris tangguh. Menurut dosen ISI Surakarta ini, pembuat keris pasti mempertimbangkan soal keseimbangan.
“Keris berdiri, Ini bukan karena mistis, ini hanya butuh konsentrasi. Ini karena kehebatan empu pembuat keris, keseimbangan, kesempurnaan,” katanya sembari membuat keris itu berdiri dengan alas deder keris.
Kuntadi menilai kegiatan pameran keris ini menjadi momentum. Selain mengajak semua elemen untuk menghargai warisan budaya yang sudah ditetapkan Unesco. Sekaligus menjadi ajang melek budaya. Tak hanya itu, kegiatan ini bisa menjadi pijakan awal untuk memetakan para kolektor keris di Boyolali. Karena baru tiga kolektor saja yang bergabung dalam kegiatan ini.
“Ini warisan budaya, generasi muda seharusnya sudah bisa memegang keris, mengetahui proses pembuatannya, baik penempaan maupun lipatan-lipatan lempengan besi. Kami harap kegiatan ini bisa berlanjut.” (**)