FOKUSJATENG.COM, SOLO – Aktivis pro demokrasi di Solo Raya yang tergabung dalam SEMPAL (Solo Melawan Politik Amoral) menggelar pertemuan di Kedai Kopi, Laweyan, Solo, pada Rabu (4/9)2024). Mereka melakukan diskusi merespon situasi politik nasional saat ini.
Para aktivis menilai demokrasi telah mengalami kemunduran akibat praktik politik dinasti penguasa, oligarki dan nepotisme. Dinamika politik nasional pasca pilpres 2024 belum juga menyurutkan langkah ambisi politik dinasti penguasa untuk berkuasa di semua lini.
Salah satu aktivis SEMPAL, Yosep Heryanto, mengatakan, setelah Jokowi sukses mengantarkan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka sebagai wakil presiden dengan memanfaatkan kerabat di Mahkamah Konstitusi (MK), yang jelas hal itu mengabaikan etika (putusan MKMK) politik. Kini, publik kembali di suguhi drama “cawe – cawe” penguasa terhadap Lembaga Legislatif yang mengadakan usaha mengabaikan putusan MK tentang batasan jumlah partai pengusung menjadi kepala daerah untuk memuluskan skenario Kaesang agar bisa maju dalam Pilgub Jawa Tengah atau Jakarta.
“Tak hanya anak, menantu juga disokong koalisi agar bisa maju sebagai Gubernur Sumatera Utara.
Ambisi politik dinasti penguasa di sokong oleh partai-partai politik yang ada, semua tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM plus) sehingga tak punya pilihan selain mengamini apa mau penguasa,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Yosep mengatakan bahwa rakyat yang marah karena tidak bisa berharap pada partai politik, menemukan momentum dan melakukan perlawanan setelah keputusan MK yang tanpa di duga memporak-porandakan skenario politik dinasti penguasa.
“Perlawanan rakyat bersama mahasiswa terjadi hampir di seluruh kota besar yang terdapat perguruan tinggi, hingga berbuah kemenangan kecil, DPR dan KPU terpaksa mematuhi keputusan MK. Dan ini berimbas pada Kaesang dan Erina yang tidak memenuhi syarat tidak cukup umur untuk maju sebagai calon kepala daerah,” kata Yosep.
Aktivis SEMPAL yang lain, Ibnu Kurniawan, menambahkan bahwa dalam Pilgub Jawa Tengah, calon yang di ajukan partai penguasa adalah Ahmad Lutfi, yg semula akan di pasangkan dengan Kaesang dan di sokong sepenuhnya oleh KIM.
Menurut Ibnu, cawe – cawe penguasa dalam dukungannya ke Ahmad Luthfi terlihat dalam pendaftaran ke KPUD Jawa Tengah, yg secara terbuka Gibran sebagai wakil presiden terpilih ikut datang dan secara terang terangan mendukung Ahmad Luthfi.
“Pun dalam Pilkada Solo, sejak awal, dinasti Jokowi sudah mendukung pencalonan Bhre – Astrid. Hanya saja belakangan Bhre mundur dan digantikan oleh Respati Ardi yang tidak mengurangi dukungan dinasti politik penguasa. Penguasa memaksa partai -partai pendukungnya lewat Koalisi Indonesia Maju menjadi kepanjangan tangan untuk memuluskan keinginannya menjagokan anak-anaknya ataupun konco – konco dekatnya, praktik ini yang di kenal dengan Nepotisme, dan jelas merusak Demokrasi,” kata Ibnu.
Ibnu menambahkan, saat ini tidak ada kekuatan Partai Politik yang berani melawan kekuasan Jokowi yang rakus selain PDI Perjuangan. Partai – partai yang semula berhadapan dengan penguasa dalam Pilres 2024, praktis menyerah dan menyatakan diri bergabung dalam Koalis Indoneisa Maju.
Praktis, kini hanya tersisa PDI Perjuangan yang berada di luar kekuasaan. Publik berharap besar agar Partai ini berani menjadi oposisi masa depan. Tanpa oposisi, demokrasi tak lagi berarti.
Untuk merespon kondisi demokrasi yang kian merosot, dalam momentum PILKADA 2024, khususnya di Pilgub Jawa Tengah dan Pilwalkot Solo,
“SEMPAL berharap calon – calon diluar Dinasti Politik penguasa akan mendapat dukungan rakyat. Hal ini penting sebagai upaya menyelamatkan demokrasi kedepan. Rakyat tidak hanya menjadi obyek kekuasaan oligarkhi namun bisa menunjukan kekuatannya melawan kekuatan oligarkhi dan Nepotisme.
Dalam Pilgub dan Pilwalkot Solo,” ucapnya.
SEMPAL berkesimpulan perlunya blocking politik terhadap calon – calon di luar Dinasti penguasa sebagai upaya kesimbangan dalam demokrasi.
Dengan ini, SEMPAL menyerukan kepada masyarakat, bahwa untuk Pilgub Jawa Tengah, mendukung pencalonan Andika Perkasa dan Hendrar Prihadi. SEMPAL berkesimpulan bahwa Jendral Andika selama ini di kenal sebagai sosok militer reformis dan demokratis. Mampu mengikuti dinamika perkembangan jaman dalam menjaga keutuhan NKRI. Lebih mengutamakan pendekatan persuasif dengan dialog. Selain itu juga dikenal tegas terhadap anggotanya yang melanggar aturan.
Hendrar Prihadi, wakilnya, juga memiliki rekam jejak baik dan sukses memajukan kota semarang ketika menjabat sebagai Walikota Semarang dan kepala LKPP.
Untuk Pilwalkot Solo, mendukung pencalonan Teguh Prakoso – Bambang Nugroho. Teguh Prakoso adalah figure yang merakyat dan mampu mengayomi masyarakat Surakarta. Memulai karir politik dari bawah sebagai kader PDI Perjuangan, setia dan memahami rakyat Surakarta khususnya kalangan menengah ke bawah. Aspiratif dan demokratis.
Sementara Bambang Nugroho atau yang lebih dikenal dengan Bambang Gage, adalah pengusaha yang sukses yang merintis karir dari bawah dengan ide – ide kreatif memahamkan gen-z terhadap sebuah produk dengan Bahasa – Bahasa gaul anak muda.
Mendukung dan mendorong KPU dan BAWASLU sebagai lembaga penyelenggara PEMILU agar tetap menjaga independensinya, menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan aturan per- Undang-undangan yang berlaku secara adil , tanpa takut intimidasi dan terbebas dari campur tangan kekuasaan Jokowi.
Penyelenggara PEMILU agar tetap menjaga independensinya, menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku secara adil, tanpa takut intimidasi dan terbebas dari campur tangan kekuasaan Jokowi.
“Dengan pertimbangan tersebut, SEMPAL berupaya mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam demokrasi melalui Pilkada, Partai – partai politik bisa di kuasai oligarkhi, namun, dalam demokrasi, Suara Rakyat adalah Suara Tuhan yang akan menentukan masa depan. Jangan sampai di manipulasi dengan cara cara licik dan rekayasa melalui politik bansos, money politik, kecurangan penyelenggaran pemilu hingga ilusi kesejahteraan dari oligarki yang akan tetap meminggirkan rakyat miskin dan generasi muda dengan kehilangan kesempatan lapangan kerja secara professional, karena matinya demokrasi dan suburnya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme,” pungkas Ibnu. (Rls/***)