Fokus Jateng-SURAKARTA,- Kebutuhan gizi anak di bawah dua tahun (Baduta) menjadi perhatian utama peningkatan kesehatan masyarakat. Upaya konkret dalam memperbaiki gizi Baduta dilakukan melalui sosialisasi dan workshop diversifikasi menu Baduta yang diselenggarakan di Kelurahan Sewu, Kota Surakarta. Kegiatan ini merupakan bagian dari pengabdian masyarakat yang diinisiasi oleh Riset Group Food Technology of Animal Origin UNS Surakarta, dipimpin oleh Dr. Winny Swastike. Kegiatan ini tak hanya memberikan edukasi, tetapi juga pelatihan langsung dalam menyiapkan menu yang kaya gizi dan seimbang bagi anak-anak.
Tantangan gizi buruk dan kurang gizi pada anak-anak Indonesia, khususnya Baduta menjadi masalah serius yang perlu ditangani. Pola makan yang monoton, kurangnya pengetahuan tentang pentingnya asupan gizi yang seimbang, dan terbatasnya akses terhadap bahan pangan yang bervariasi sering kali menjadi faktor utama. Dr. Winny Swastike bersama timnya ingin memberikan edukasi mengenai pentingnya diversifikasi pangan sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan gizi anak-anak, terutama dalam masa pertumbuhan yang sangat penting ini.
Kegiatan dilakukan sebagai tindaklanjut pertemuan 25 Juli 2024 lalu dari Tim Pengabdian Hibah Grup Riset yang mengadakan kegiatan Sosialisasi dan Workshop Variasi Menu bagi Baduta dan Ibu Hamil saat ditemui di Pendopo Kelurahan Sewu, Surakarta, Jumat, 6 September 2024. Kegiatan ini difokuskan di wilayah Kelurahan Sewu karena ditemukan beberapa permasalahan yakni seperti kurangnya pengetahuan warga terkait diversifikasi dan variasi menu ibu hamil dan baduta berbasis protein hewani. Sosialisasi dilakukan untuk memberi pemahaman mengenai pemberian gizi seimbang dan upaya diversifikasi variasi menu.
Dr. Winny Swastike, sebagai ketua tim, memulai sosialisasi dengan menekankan pentingnya diversifikasi pangan bagi Baduta. “Diversifikasi pangan sangat penting untuk memastikan bahwa anak-anak mendapatkan berbagai jenis nutrisi yang mereka butuhkan. Ini tidak hanya mencakup karbohidrat, tetapi juga protein, vitamin, mineral, dan serat yang semuanya sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan anak,” jelas Dr. Winny dalam pembukaannya.
*Sosialisasi Diversifikasi Pangan*
Dalam sesi sosialisasi yang dipimpin oleh Dr. Winny Swastike, peserta yang terdiri dari para ibu rumah tangga, kader posyandu, dan perangkat kelurahan diajak untuk memahami pentingnya diversifikasi pangan dalam menu sehari-hari anak. Dr. Winny menjelaskan bahwa diversifikasi pangan adalah kunci untuk mengatasi masalah gizi pada anak. Mengandalkan satu jenis sumber makanan tidak cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan gizi anak. Oleh karena itu, perlu adanya variasi dalam jenis bahan makanan yang dikonsumsi, termasuk menggabungkan berbagai sumber protein, baik hewani maupun nabati, serta sayuran dan buah-buahan.
“Saat ini, banyak anak-anak yang asupannya terbatas pada makanan yang sama setiap hari. Ini mengakibatkan kekurangan nutrisi tertentu yang sangat penting dalam masa pertumbuhan mereka,” papar Dr. Winny. Ia juga menekankan pentingnya menyertakan sumber protein yang beragam, tidak hanya dari daging, tetapi juga telur, ikan, kacang-kacangan, dan sayuran berprotein tinggi.
Sesi berikutnya dibawakan oleh Lilik Kartikasari, Ph.D., yang mengupas tentang pentingnya protein hewani dan nabati dalam menu Baduta. Lilik menjelaskan bahwa protein merupakan salah satu komponen gizi yang sangat penting bagi anak-anak, terutama dalam masa pertumbuhan. Protein berperan dalam membangun jaringan tubuh, memperbaiki sel yang rusak, serta berfungsi dalam sistem kekebalan tubuh. “Protein hewani seperti daging, ikan, ayam, dan telur mengandung semua asam amino esensial yang dibutuhkan tubuh, sedangkan protein nabati dari kacang-kacangan, biji-bijian, dan sayuran dapat melengkapi kebutuhan gizi dengan cara yang berbeda,” jelas Lilik.
*Proses Pengolahan Pangan yang Baik*
Sedangkan, sisi pentingnya proses pengolahan pangan yang baik juga menjadi salah satu fokus dalam kegiatan ini, dibawakan oleh Farouq, Ph.D. Farouq menjelaskan bahwa cara pengolahan yang tepat sangat mempengaruhi kualitas nutrisi dari bahan pangan yang dikonsumsi. Pengolahan yang salah, seperti memasak terlalu lama atau menggunakan suhu yang terlalu tinggi, dapat merusak kandungan nutrisi dalam makanan, terutama vitamin dan mineral yang sangat dibutuhkan oleh Baduta.
Farouq menyarankan beberapa metode memasak yang lebih sehat, seperti mengukus, merebus, atau memanggang dengan suhu rendah. “Mengukus sayuran, misalnya, lebih baik dibandingkan merebus karena lebih banyak vitamin yang terjaga,” jelasnya. Ia juga memberikan contoh-contoh sederhana tentang bagaimana cara mempersiapkan makanan yang tidak hanya sehat tetapi juga menarik bagi anak-anak, seperti membuat bola-bola daging sayuran atau kentang panggang dengan keju.
Terakhir, bagian yang paling dinantikan dalam kegiatan ini adalah workshop memasak yang dipandu oleh Chef Hendro, Ketua Asosiasi Chef Indonesia. Workshop ini memberikan pengalaman langsung kepada para peserta tentang bagaimana mengaplikasikan konsep diversifikasi pangan yang telah disosialisasikan sebelumnya. Chef Hendro, dengan pengalamannya yang luas di dunia kuliner, memberikan sentuhan praktis dalam menyajikan makanan sehat yang bisa diterima oleh selera anak-anak.
Workshop ini diawali dengan demonstrasi memasak beberapa menu yang kaya gizi dan mudah dipraktikkan di rumah. Chef Hendro menunjukkan cara membuat menu sederhana namun bergizi, seperti dimsum, finger fish dan nughet ikan. Dalam setiap langkah, Chef Hendro menjelaskan teknik memasak yang tepat untuk menjaga kandungan nutrisi, serta tips dalam memilih bahan-bahan yang berkualitas. “Yang penting adalah keseimbangan. Kita ingin memastikan bahwa setiap menu yang kita sajikan mengandung karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral yang seimbang,” ungkap Chef Hendro. Ia juga mengajak para peserta untuk lebih berani bereksperimen dengan bahan-bahan lokal yang ada di sekitar, seperti labu, jagung, ubi, dan daun kelor yang kaya akan nutrisi namun sering kali diabaikan.
Setelah demonstrasi, para peserta diajak untuk berpartisipasi langsung dalam kelompok kecil untuk mempraktikkan menu yang telah diajarkan. Setiap kelompok didampingi oleh asisten dari tim riset untuk memastikan setiap langkah dilakukan dengan benar. Peserta terlihat antusias dan bersemangat dalam mencoba menu-menu baru tersebut, yang diharapkan dapat diterapkan dalam menu harian keluarga mereka. Dr. Winny Swastike menyampaikan bahwa kegiatan ini hanyalah langkah awal dari upaya yang lebih besar untuk mengatasi permasalahan gizi Baduta di Indonesia. “Kami berharap kegiatan seperti ini bisa terus berlanjut dan menjangkau lebih banyak masyarakat di berbagai daerah. Tidak hanya memberikan pengetahuan, tetapi juga membekali mereka dengan keterampilan praktis yang bisa langsung diterapkan,” ungkapnya. (ist)