Lestarikan Kearifan Lokal dan Budaya MAXONE LOJI KRIDANGGO BOYOLALI gelar Festival Janur dan Tumpeng

TELATEN : salah satu peserta Festival Janur dan tumpeng di maxone loji kridanggo Boyolali (yull/Fokusjateng.com)

Fokus Jateng-BOYOLALI-Beragam cara dilakukan untuk melestarikan kearifan lokal, diantarnya dengan mengangkat seni budaya. Hal inilah yang melatar belakangi MAXONE Loji Kridanggo Boyolali. Hotel yang ada di pusat kota Boyolali konsisten menggelar Festival Tumpeng di setiap peringatan HUT Hotel, serta mendukung acara upacara adat kirab tradisi Nyadran atau Sadranan. Pada Anniversary yang ke-3 ini MAXONE Loji Kridanggo Boyolali mengkolaborasikan keduanya, yaitu lomba membuat dan menghias tumpeng lengkap dengan lauk khas “Sadranan” dan dimasukan di dalam tenong, tak lupa disajikan juga kue jajan pasar khas tradisional.
“Selain menggelar acara Festival Tumpeng pada 05 Desember 2024, kami juga mengadakan Festival Janur pada 04 Desember 2024, jadi kegiatannya berturut-turut. Memang dua acara tersebut sebagai rangkaian acara ulang tahun MAXONE Loji Kridanggo Boyolali yang ketiga,” ungkap Clarita Hera sebagai Sales & Marketing.
Festival Janur sendiri baru kali ini diadakan oleh MAXONE Loji Kridanggo Boyolali, bertujuan untuk menghidupkan kembali tradisi merangkai janur di daerah Jawa, dimana saat ini sudah banyak ditinggalkan, hanya orang-orang tertentu yang bisa. Pada tradisi Jawa, janur kuning biasanya dirangkai menjadi untaian menjulang ke atas menyerupai umbul-umbul, dan digunakan pada upacara-upacara adat Jawa.
“Kedua acara ini lebih dalam juga mengandung arti untuk MAXONE Loji Kridanggo Boyolali, di ulang tahun kami yang ketiga ini, melalui Festival Janur dan Festival Tumpeng, kami berharap akan lebih banyak doa yang terlambung, karena makna dari Janur dan Tumpeng itu sendiri; membawa doa, syukur, dan keselamatan untuk kita semua.”
Menurut Budayawan Boyolali, Gatut Suseno, seni janur ini sudah ada sejak zaman Demak atau abad ke 15. Kembar mayang mulai dipasang untuk hajat pernikahan. Kembar mayang ada yang bernama Dewandaru, Dewa berarti umat dari yang Maha Kuasa. Sedangkan Ndaru adalah cahaya. Satu lagi bernama Kalpondaru. Kalpo berarti abadi dna ndaru diartikan cahaya. Sehingga kembar mayang menjadi ujub doa agar kedua mempelai mendapat cahaya dari yang Maha Kuasa.
“Sedangkan janur itu adalah dari daun pelapa kelapa yang paling atas, paling muda. Itu di tata cara adat Jawa, janur itu mengandung makna permohonan keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa,” ujarnya.
Ada sepuluh peserta yang mengikuti festival ini. Mereka dengan telaten mulai mendesain janur. Ada yang dibuat kembar mayang, adapula penjor. Salah satu pegiat seni dekorasi janur asal Boyolali, Supri Jabrik (60), mengaku menggeluti pembuatan dekorasi janur sejak 1980-an. Seni dekorasi kembar mayang dan penjor ini sudah dipelajarinya sejak masih remaja. Awalnya, dia belajar dari kegiatan karang taruna.
“Zaman dulu, kalau ada hajatan semuanya didekor sendiri. Termasuk kembar mayang ini, dulu malam sebelum resepsi kami gotongroyong buat itu. Dari situ belajar otodidak. Karena tiap acara nikahan di kampung, pasti buat sendiri,” ujarnya.

(suasana festival janur dan tumpeng)

Senada, Sutarto (52) asal Desa Candi, Kecamatan Ampel menyebut seni dekorasi janur ini terganjal pada bahan baku dan regenerasi. Untuk mendapatkan papah janur, dia harus memesan sejak jauh-jauh hari.
“Kalau bisa Festival seperti ini sering diadakan lebih bagus. Karena juga mengangkat budaya Jawa dan kreasi, lalu dari anak muda biar tertarik melanjutkan, jadi ada regenerasi,” ungkapnya.
Pembuatan dekorasi kembar mayang dan penjor ini memang membutuhkan ketelatenan, kesabaran dan kreasi tinggi.
“Untuk menghasilkan yang bagus gak bisa terburu-buru. Jadi memang harus telaten dan sabar. Desainnya juga berkembang dari masa ke masa, modelnya juga berkembang, ada model bali, klasik, solo dan lainnya.” tambahnya.
Aloys Sutarto, Owner MAXONE Loji Kridanggo Boyolali menambahkan untuk mewujudkan tradisi Jawa di Hotel ini tujuannya bukan hanya untuk menggali dan memunculkan kembali tradisi lama yang sudah mulai dilupakan, namun bertujuan juga untuk mengenalkan tradisi tersebut kepada para tamu Hotel yang mungkin datang dari berbagai daerah, sehingga semakin menumbuhkan rasa cinta kita terhadap tradisi dan budaya yang ada.
“Sehingga pada akhirnya tradisi dan budaya tersebut akan tetap lestari dan tidak akan hilang ditelan gempuran zaman.” (yull/**)