Opini : Menghidupkan Ilmu Pekarangan Adalah Jalan Menuju Kemandirian Pangan Nusantara

 

 

Oleh: Yoseph Heriyanto, pendiri Serikat Tani Bumi Intanpari (SERTA BUMI)

Paradigma ketahanan pangan arus utama kerap memandang pangan semata sebagai komoditas ekonomi. Pendekatan ini menitikberatkan pada produksi besar-besaran, distribusi lintas wilayah, konsumsi yang dikendalikan pasar, dan daya beli masyarakat.

Akibatnya, wilayah yang kaya sumber daya mendominasi distribusi pangan, sementara daerah lain terpaksa bergantung pada suplai eksternal. Ketimpangan ini tidak hanya merugikan daerah tertentu tetapi juga mengabaikan potensi masyarakat lokal untuk menyediakan kebutuhan pangan secara mandiri.

Dalam konteks ini, ilmu pekarangan muncul sebagai solusi strategis. Praktik tradisional ini telah lama menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Nusantara. Pekarangan, sebagai lahan kecil yang dimanfaatkan optimal, mampu menyediakan berbagai kebutuhan pangan rumah tangga.

Lebih dari sekadar lahan bercocok tanam, pekarangan mencerminkan kemandirian berbasis kearifan lokal yang diwariskan lintas generasi.
Ilmu pekarangan telah diterapkan dalam berbagai bentuk yang membuktikan kemampuannya untuk mendukung kemandirian pangan.

Salah satu contohnya adalah kebun campuran, di mana masyarakat menanam berbagai tanaman seperti sayur, buah, rempah, dan tanaman obat dalam satu lahan kecil. Di Jawa, misalnya, pekarangan sering digunakan untuk menanam cabai, tomat, bayam, kunyit, dan jahe yang dapat langsung memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Selain itu, beberapa pekarangan juga dimanfaatkan untuk membangun kolam ikan yang terintegrasi dengan tanaman di sekitarnya. Budidaya ikan lele atau nila menjadi pilihan populer, di mana limbah dari kolam tersebut berfungsi sebagai pupuk alami untuk tanaman.

Bagi masyarakat dengan lahan terbatas, metode vertikultur atau hidroponik memberikan solusi efektif. Sistem bertingkat menggunakan pipa bekas sering digunakan untuk menanam kangkung, selada, atau stroberi. Selain tanaman, pekarangan juga sering menjadi tempat untuk memelihara hewan kecil seperti ayam kampung atau kelinci, yang tidak hanya menyediakan sumber protein tetapi juga menghasilkan pupuk organik dari kotorannya.

Pohon-pohon multifungsi turut memperkaya fungsi pekarangan. Pohon kelor, misalnya, selain daunnya dijadikan sayur, batangnya juga dapat dimanfaatkan sebagai pagar hidup. Pohon pisang menawarkan manfaat dari buah, daun, hingga batangnya, sementara pohon pepaya menyumbangkan daun dan buah sebagai pangan.

Dengan cara ini, pekarangan menjadi ruang multifungsi yang menyediakan kebutuhan pangan sekaligus menjaga keberlanjutan ekologi. Pendekatan ini mencerminkan potensi besar pekarangan sebagai solusi lokal untuk tantangan ketahanan pangan nasional.

Konsep kedaulatan pangan, sebagaimana diperkenalkan oleh La Via Campesina, memberikan alternatif bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan mereka sendiri. Berbeda dengan ketahanan pangan yang berorientasi pada pasar, kedaulatan pangan menempatkan hak komunitas lokal sebagai pusat perhatian. Dengan memanfaatkan sumber daya lokal seperti pekarangan, masyarakat dapat melepaskan diri dari ketergantungan pada sistem distribusi pangan berskala besar.

Dalam kerangka teori agroekologi, pekarangan mencerminkan pendekatan ekologis pada sistem pangan. Keragaman tanaman, efisiensi sumber daya, dan keberlanjutan menjadi elemen utama pekarangan. Selain memenuhi kebutuhan pangan, pekarangan mengurangi ketergantungan pada pasar, memberikan kontrol lebih besar kepada masyarakat atas sumber daya pangan mereka sendiri.

Ketergantungan pada impor pangan menciptakan risiko monopoli pasar dan memperburuk ketimpangan sosial. Dalam konteks ini, teori dependensi menunjukkan bagaimana struktur ekonomi global memaksa negara berkembang terus bergantung pada negara maju untuk memenuhi kebutuhan pangan. Ketergantungan ini melemahkan kemandirian bangsa dan memperkuat eksploitasi oleh aktor dominan dalam perdagangan global.

Saat pasar domestik dikuasai oleh oligopoli, segelintir perusahaan besar menentukan harga dan ketersediaan pangan. Petani kecil, yang memiliki daya tawar rendah, harus bersaing dengan produk impor bersubsidi, sehingga harga domestik menjadi tidak kompetitif. Proses ini mempercepat marginalisasi petani kecil, yang kemudian kehilangan akses terhadap lahan dan berubah menjadi buruh tani.

Teori akumulasi primitif Karl Marx relevan di sini. Tanah sebagai alat produksi utama sering kali diambil alih oleh pemodal besar, sementara masyarakat dipaksa menjadi pekerja yang teralienasi dari alat produksinya. Monopoli tanah dan sistem kerja tidak adil menciptakan bentuk perbudakan modern, di mana buruh tani tidak memiliki kendali atas hasil kerja mereka sendiri.

Pendekatan ketahanan pangan berbasis impor juga memicu dampak sosial meluas. Alih fungsi tanah subur untuk proyek infrastruktur dan perkebunan menyebabkan komunitas lokal kehilangan sumber daya vital mereka. Hal ini mendorong urbanisasi tidak terkendali, pengangguran, dan kemiskinan perkotaan.

Dari perspektif teori sistem dunia Immanuel Wallerstein, kebijakan pangan berbasis impor memperkuat ketimpangan antara negara maju (core) dan negara berkembang (periphery). Sistem ini melanggengkan ketergantungan dan eksploitasi, tanpa redistribusi kekayaan dan sumber daya yang adil.

Menghidupkan kembali ilmu pekarangan adalah langkah strategis untuk melawan ketergantungan ini. Pekarangan tidak hanya menawarkan solusi praktis, tetapi juga mendukung keberlanjutan lingkungan. Dengan memanfaatkan lahan kecil secara efisien, pekarangan menjaga keanekaragaman hayati, mengurangi risiko kegagalan panen, dan meminimalkan dampak buruk perubahan iklim.

Dalam teori sistem pangan berkelanjutan, pekarangan mampu mengintegrasikan produksi ramah lingkungan, distribusi yang adil, dan konsumsi yang sehat. Kekayaan keanekaragaman hayati Nusantara menjadi modal besar untuk mewujudkan sistem pangan yang mandiri.

Ilmu pekarangan juga mengandung nilai sosial dan budaya yang mendalam. Bagi masyarakat tradisional, pekarangan adalah wujud relasi harmonis dengan lingkungan. Pengetahuan ini menunjukkan bahwa kearifan lokal mampu menjawab tantangan modern tanpa mengorbankan identitas budaya.

Menghidupkan kembali pekarangan adalah langkah kolektif untuk membangun sistem pangan berlandaskan keadilan sosial dan keberlanjutan. Ini adalah perlawanan terhadap sistem global yang meminggirkan komunitas lokal, sekaligus upaya merebut kembali hak atas pangan sebagai hak asasi manusia. Kemandirian pangan Nusantara bukan sekadar mimpi. Melalui ilmu pekarangan, masyarakat dapat menciptakan masa depan yang mandiri, adil, dan berkelanjutan, dimulai dari pekarangan rumah mereka sendiri. (***)