Inilah Nilai Kearifan Lokal yang Terkandung Dalam Prosesi Labuhan Lawu

FOKUSJATENG.COM, KARANGANYAR – Labuhan Lawu kembali digelar sebagai bagian dari tradisi memperingati hari kenaikan takhta Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X.

Labuhan Lawu juga menjadi sebuah simbol ikatan hubungan sejarah dan budaya yang erat antara Kabupaten Karanganyar dan Keraton Yogyakarta. Karena Karanganyar pada masa lampau memiliki peran penting terkait terbentuknya Keraton Yogyakarta melalui Perjanjian Giyanti.

Prosesi Labuhan Lawu diawali dengan serah terima Pratelan Ageman Sultan secara simbolis dari perwakilan Keraton Yogyakarta kepada Pj Bupati Karanganyar Timotius Suryadi, yang dilaksanakan di Pendopo Raden Mas Said Rumah Dinas Bupati Karanganyar, Kamis (30/1/2025) pagi.

Setelah prosesi serah terima selesai, Pratelan Ageman Sultan akan dibawa menuju puncak Gunung Lawu oleh para juru kunci melalui jalur pendakian Cemoro Kandang, pada waktu tengah malam hingga menjelang pagi.

Ubo rampe atau sesaji yang dilabuh di antaranya yaitu dodot, kening set dinggo, teluh watu, dan lainnya, yang memiliki makna mendalam dalam tradisi Mataram. Prosesi ini dilakukan dengan penuh khidmat dan mengikuti kaidah adat yang telah diwariskan turun-temurun.

Pj Bupati Karanganyar Timotius Suryadi, mengatakan bahwa Labuhan Lawu sekaligus menjadi momentum strategis untuk memperkuat kerjasama budaya dan sejarah antara Kabupaten Karanganyar dan Keraton Yogyakarta.

“Kerjasama antara Pemerintah Kabupaten Karanganyar dan Keraton Yogyakarta merupakan hal yang berkelanjutan, mengingat sejarah yang menghubungkan keduanya. Gunung Lawu memiliki makna khusus dalam perjalanan spiritual Sultan Hamengkubuwono X. Maka diharapkan Labuhan Lawu dapat terus dilestarikan dan menjadi warisan budaya kepada generasi mendatang,” ungkapnya.

Timotius menambahkan, Labuhan Lawu juga menjadi bagian dari upaya memperkuat identitas budaya dan sejarah yang telah mengakar di Tanah Jawa.

“Oleh karena itu, kami berkomitmen untuk terus menjaga nilai-nilai sejarah ini dan memastikan bahwa generasi penerus tetap menghargai serta bangga terhadap warisan budaya yang ada,” ucapnya.

Sementara itu,, Penghageng II Kawedanan Widya Budaya KRT Rinta Iswara selaku perwakilan dari Keraton Yogyakarta, menjelaskan bahwa prosesi Labuhan Lawu adalah bagian dari tradisi Labuhan Ageng yang dilaksanakan setiap delapan tahun sekali, serta Labuhan Alit yang dilakukan secara rutin setiap tahun.

“Labuhan ini bukan hanya sebuah upacara, tetapi juga wujud rasa syukur dan bentuk penghormatan kepada leluhur. Tradisi ini memiliki makna spiritual untuk menjaga keseimbangan alam dan harmoni kehidupan. Barang-barang yang dilabuh telah disiapkan dengan cermat dan akan dibawa oleh para juru kunci menuju puncak Gunung Lawu pada tengah malam, agar tiba di lokasi sebelum matahari terbit,” ungkapnya.

Sebagai informasi, Labuhan Lawu sendiri dilaksanakan satu hari setelah peringatan hari kenaikan takhta Sultan Hamengkubuwono X, yang jatuh pada 29 Rajab dalam kalender Hijriyah.

Tidak hanya di Gunung Lawu, upacara labuhan juga digelar di Pantai Parangkusumo dan Gunung Merapi sebagai bagian dari tradisi besar tahunan Keraton Yogyakarta yang bertujuan untuk menjaga keseimbangan alam dan spiritual bagi masyarakat.( kc/bre)