FOKUSJATENG.COM, OPINI – Peristiwa Penahanan Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto telah memaksa PDIP untuk menarik semua kadernya yang menjadi Kepala Daerah untuk tidak mengikuti Retret yang diselenggarakan oleh Pemerintah.
Sikap ini tentu menuai kontroversi. Yang Kontra terhadap keputusan PDIP menuduh bahwa PDIP _kebablasan_ karena Kepala Daerah khan dipilih oleh rakyat sehingga wajib menjalankan kehendak rakyat daripada perintah partai. Apalagi, pada saat proses pilkada, kadang dilakukan melalui koalisi dengan partai lainnya. Tindakan boikot terhadap Retret dinilai mencederai amanat rakyat pendukung.
Namun, di sisi lain, PDIP melihat bahwa proses perjalanan pemerintahan ini sudah keluar dari kaidah etika dan moral politik yang seharusnya dijalankan oleh para pelaku politik dan bukan demi kepentingan sesaat melalui kompromi-kompromi politik. Tindakan menarik semua kadernya juga semakin menegaskan sikap PDIP untuk tetap kritis terhadap kebijakan pemerintah. Selama ini PDIP mendukung jika ada kadernya yang menjadi pejabat dan terbukti korupsi untuk segera diproses melalui jalur hukum, terutama jika terbukti menimbulkan kerugian negara. Tetapi saat ini, PDIP mungkin memandang bahwa Sekjen bukan pejabat pemerintah dan bahkan kalau terbukti melakukan apa yang dituduhkan pun tidak menimbulkan kerugian negara sebagaimana unsur tindak pidana korupsi. PDIP melihat bahwa ini adalah upaya pembungkaman politik melalui jalur hukum dan dibalas dengan tindakan politik pula dengan menarik kadernya dari Retret politik.
Terlepas dari pro dan kontra atas sikap PDIP, tindakan ini akan memulai tradisi baru dalam proses demokrasi di Indonesia yaitu, adanya pihak Oposisi yang memang berdiri di luar wilayah kekuasaan untuk secara terstruktur dan sistematis mengkritisi kebijakan pemerintah. Apa yang dilakukan PDIP harus dibaca sebagai langkah awal memulai tradisi oposisi. Semoga ini akan diikuti dengan langkah membentuk “pemerintahan bayangan” (shadow government) yang memang mencermati secara lebih khusus sesuai dengan bidang-bidang Kementerian dan Kelembagaan di pemerintahan. Prinsip Check and Balance akan lebih terjaga dan justru akan mendorong pemerintah semakin terbuka dan bertanggung jawab (transpance and accountable).
Tradisi yang membuat pemerintah juga akan lebih hati-hati jika menerbitkan sebuah kebijakan karena pihak oposisi juga punya sumber informasi yang serupa dan bisa mengusulkan kebijakan yang berbeda untuk memberikan alternatif bagi rakyat.
Pada gilirannya, pemilih akan semakin cerdas dan pandai untuk menentukan sikapnya pada saat pemilu karena selalu diberikan opsi kebijakan yang berbeda oleh pihak oposisi terhadap kondisi sosial ekonomi yang sama.
Semoga langkah ini bukan langkah reaktif yang tidak berlanjut karena “kompromi politik” lagi.
Penulis : Benedictus Danang Setianto SH, LLM, MIL, Ph.D , Dosen Ilmu Hukum Universitas Soegijapranata, Semarang.
Pendiri Jateng Corruption Watch